WELCOME TO MY WORLD!!!

Rabu, 24 Oktober 2012

ANALISIS TERHADAP RETORIKA POLITIK PARA KANDIDAT PILGUB DKI JAKARTA DEKADE 2014 (Studi Kasus Terhadap Fauzi Bowo dan Jokowi dalam PILGUB DKI Jakarta Putaran Ke - II)

KOMUNIKASI POLITIK ANALISIS TERHADAP RETORIKA POLITIK PARA KANDIDAT PILGUB DKI JAKARTA DEKADE 2014 (Studi Kasus Terhadap Fauzi Bowo dan Jokowi dalam PILGUB DKI Jakarta Putaran Ke - II) DISUSUN OLEH : Khairunnisa M. Ilyas Ali Herdina Rosidi JURUSAN KOMUNIKASI dan PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH dan ILMU KOMUNIKASI UIN JAKARTA 2012 BAB I PENDAHULUAN DKI Jakarta adalah kota yang sangat besar, tidak mudah untuk mengatur kota sebesar ini. Masyarakat Jakarta sedang dihujani pertanyaan – pertanyaan siapa yang layak untuk mereka pilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dekade 2014 ini? Pada umumnya masyarakat kini makin kritis serta informatif yang pastinya mereka sudah mengantongkan nama pilihannya yang akan dipilih. Mengingat kembali hasil perolehan suara pemilihan Calon Gubernur DKI Jakarta pada putaran pertama yang diselenggarakan pada tanggal 11 Juli 2012 ialah Joko Widodo dan basuki (43 %) dan disusul oleh pasangan Fauzi bawo dan Nachrowi Ramli (33 %), Hidatay Nur Wahid – Didiek Rachbini (12 %), Alex Noerdin – Nono (4,74), Faisal Basri – Biem Benyamin (4,99) dan Hendarji – Riza (2,05). Dua Calon Gubernur yang akan masuk ke putaran kedua adalah pasangan Joko Widodo – Basuki dan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli. Pada putaran pertama Jokowi dan pasangannya Ahok terbukti dapat memenangkan dalam putaran pertama. Ketika Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo, beliau memang dikenal merakyat, tidak elitis, bersih dari korupsi dan prestasi – prestasi beliau sudah terdengar di kuping masyarakat Jakarta, inilah salah satu penyebab Jokowi mengapa beliau menjadi pemenang dalam putaran pertama. Begitu pula dengan lawannya dari incumbent, yakni Fauzi Bowo beliau mengumbar segala kinerja – kinerja yang telah terlaksana selama 5 tahun menjabat dan menyebarkan pula janji – janji baru untuk memperoleh simpati maupun dukungan dari masyarakat. Menyongsong untuk putaran kedua yang berjatuh pada tanggal 20 September 2012, kedua pasangan tersebut mempersiapkan strategi – strategi baru yang telah dipersiapkan oleh timsesnya masing – masing. Foke dan Jokowi masing – masing memiliki integritas yang berbeda. Keduanya merupakan kepala daerah yang masih aktif menjabat (incumbent), sehingga memiliki modal yang sama sebagai pemimpin kepala daerah. Menurut anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Martin Hutabarat, ada 2 faktor yang paling penting, yaitu kepercayaan publik terhadap integritas seseorang dan harapannya terhadap figur tersebut. Dan pastinya masyarakat bisa memilih siapa yang akan mereka pilih untuk menjadi Gubernur Jakarta pada putaran ke II. BAB II KASUS Melihat kinerja Fauzi Bowo atau Foke panggilan akrabnya selama 5 tahun masyarakat bisa menilai. Dimata masyarakat Jakarta Foke telah dianggap GAGAL sebagai Gubernur Jakarta dekade 2012. Diantaranya program kerja Foke seperti menambah jalan layang di daerah ibu kota, meng – ACC kan beberapa pengusaha – pengusaha untuk mendirikan mall di beberapa daerah pusat kota, itu hanya membuat kota Jakarta semakin padat dan macet yang tak ujung usai. Kini Foke hadir kembali mencalonkan dirinya sebagai Gubernur Jakarta dekade 2014. Citra Fauzi Bowi (Foke) pada saat ini kian menurun, ditambah lagi dengan beberapa peristiwa belakang ini yang menyangkut dirinya. Foke membuat strategi seperti Pilkada DKI 2007 yang telah ia menangkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dekade 2012. Yaitu menggunakan “Konsep Blocking” dengan strategi penguasaan partai – partai pada level elite dimana Foke melakukan koalisi besar pada partai PKS, PPP, PAN, Demokrat dan Golkar. Karena akan sangat mungkin elite partai di DPP memberi endorsement ke Foke-Nara. (Gun Gun Heryanto kepada merdeka.com, Minggu (22/7) ). Partai – partai elite tersebut berpihak kepada Fauzi Bowo karena pertimbangan elektoral 2014, yaitu mereka sensitif atau sentimen terhadap partai PDIP dan Gerindra. Begitu juga dengan Joko Widodo atau Jokowi panggilan akrabnya, calon Gubernur DKI Jakarta, prestasi Jokowi menjadi Gubernur kota Solo masyarakat juga bisa menilai. Jokowi hadir sebagai sosok pribadi yang santun, tidak elitis, dan merakyat. Jokowi didukung oleh partai PDI P dan Gerindra. Strategi Jokowi – Ahok bersifat inovatif yang membuat banyak simpati masyarakat. Seperti halnya langsung turuk ke kampung, makan di warteg, jalan – jalan ke pasar, serta berinteraksi langsung dengan masyarakat. Ditambah lagi pencitraannya sangat kuat, yang sasaran utamanya adalah masyarakat menengah kebawah. Tidak ada berita cacat di media mengenai Jokowi – Ahok. Apakah media bekerjasama atas pencitraan Jokowi – Ahok? Kemudian isu SARA, agama dan juga etnis digunakan lawannya sebagai alat “name calling” untuk menjatuhkan Jokowi – Ahok. Tapi dengan isu tersebut membuktikan bahwa masyarakat kita pada umumnya lebih melihat seorang figur yang menghasilkan Jokowi – Ahok memenangkan di PILGUB pertama. Pada putaran kedua Pemilihan Gubernur DKI Jakarta diyakini akan menjadi adu integritas antara Fauzi Bowo (Foke panggilan sapaannya) dan Joko Widodo (Jokowi). Masing – masing calon memiliki integritas. Timses Foke maupun Jokowi bekerja keras menyusun strategi untuk putaran kedua. Beberapa hari yang lalu, Jokowi dan pasangannya Ahok bersilaturrahmi ke sejumlah kandidat – kandidat calon Gubernur DKI Jakarta yang tidak lolos pada putaran pertama. Yakni, Hidayat Nur Wahid, Alex Nurdin, Faisal Basri, dan Hendarji. Tetapi sebenarnya apa motif dibalik agenda ini? Apakah semata- mata silaturrahmi atau ada negosiasi politik Jokowi dengan kandidat - kandidat PILGUB yang tidak lolos di putaran pertama. Kemudian disusul oleh Foke yang membuat program sahur keliling bareng warga, shalat tarawikh keliling, dan menyusun – menyusun kegiatan religius selama bulan puasa. Masing – masing kandidat memiliki strategi kampanye yang berbeda – beda, serta keduanya juga memiliki perbedaan dalam segi retorika politik. Retorika sangat berpengaruh dalam kampanye, karena di dalam pidato kampanye tersimpan propaganda memiliki daya pengaruh yang kuat dalam merayu politik. Retorika tersebut menggunakan suara berintonasi yang bagus, gerak tubuh yang meyakinkan, serta menggunakan kata – kata bersifat persuasif. BAB III TEORI A. PENGERTIAN RETORIKA Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorika. Retorika adalah ilmu berbicara. Dalam bahasa Inggris, yaitu rhetoric dan dari kata Latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Bagi Aristoteles retorika adalah seni persuasi, suatu yang harus singkat, jelas dan meyakinkan, dengan keindahan bahasa yang disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah (instructive), mendorong (suggestive) dan mempertahankan (defensive). Retorika berasal dari bahasa Yunani rhetorica yang berarti seni berbicara, pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan antarpersonal untuk memengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif. Selain itu retorika juga dapat dipakai dalam menyusun argumentasi dan naskah pidato. Littlejohn mendefinisikan kajian retorika secara umum sebagai simbol yang digunakan manusia. Pengertian ini kemudian diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan sekitarnya. Retorika adalah komunikasi dua arah, face to face, satu atau lebih orang (seorang berbicara kepada beberapa orang maupun seorang bicara kepada seorang lain) masing – masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama lain. Retorika menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato. Sasaran persuasi timbal balik itu, tentu saja tidak perlu dibatasi hanya pada orang – orang yang turut dalam perdebatan: para ahli retorika dapat juga berusaha mempengaruhi pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk membantu yang di persuasi dalam membangun citra tentang masa depan, masa untuk bertindak: melalui retorika, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan kepercayaan, nilai, pengharapan mereka. Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam retorika ini yaitu, pertama, pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik. Kedua, pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa yang baik tadi. Aristoteles menulis: “Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik daripada orang lain: ini berlaku umumnya pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan sementara penulis retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya; sebaliknya, karakternya hampir bisa disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya.” Retorika merupakan “art of speach” (seni berbicara). Yakni suatu bentuk komunikasi yang diarahkan pada penyampaian pesan dengan maksud mempengaruhi khalayak agar dapat memperhatikan pesan yang disampaikan secara baik. Retorika menggabungkan antara argumentasi pesan, cara penyampaian yang menarik serta kredibilitas diri pembicara, sehingga melahirkan impresi tertentu bagi khalayak. Dengan demikian retorika politik merupakan seni berbicara kepada khalayak politik, dalam upaya mempengaruhi khalayak tersebut agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator politik. Retorika mengandung banyak unsur persuasi, seperti unsur gaya dan keindahan yang mencakup suara yang berirama, intonasi yang bagus, kata – kata yang indah, serta postur dan gerak tubuh yang dapat menarik dan meyakinkan. Retorika merupakan komunikasi verbal dan nonverbal yang memiliki unsur persuasi dengan daya pengaruh yang kuat dalam merayu puiblik. Dengan adanya unsur persuasi yang melekat pada retorika, mendorong para politikus memanfaatkan retorika sebagai salah satu bentuk komunikasi yang efektif dalam merayu opini publik. (Hofsatter dalam Arifin, 1985, dikutip kembali dalam Arifin, 2010:214) B. SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan dan sebagainya. Pidato disampaikan pada orang yang mempunyai setatus tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. ”sejarah manusia”, kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah,”terutama sekali dalam catatan peristiwa penting yang dramatis, yang sering kai disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaia pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkena; dengan kefasihan bicaranya yang menawan”. Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni yang diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktaktor ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykan terjadi. Untuk mengabil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri dipengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan berbicara saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh tanahnya, hannya karena tidak pandai bericara. Untuk membantu memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang ”tehnik kemungkinan”. Bila kita tidak bisa memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut dipengadilan untuk pertama kalinya. Dengan tehnik kemungkinan, kita bertanya, ”Ia pernah dicuri dan pernah dihukum. Mana mungkin dia berani melakukan lagi hal yang sama”. Akhirnya, retorika memang mirip ”ilmu silat lidah”. I. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kewarganegaraan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, ”membicarakan” diganti dengan ”menembak” retorika tersingkir kebelakan panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang pandai berbicara. Abad pertengahan sering disebat dengan abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampun untuk menyapaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu. Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari tehnik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan Firman Tuhan, “Berilah mereka nasiahat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Al-qur’an 4:63). Muahammad SAW, bersabda memperteguh Firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya” Ia sendiri seorang pembicara yang fasih dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para dahabat bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengaran berguncang hatinya dan berinang air mata. Tetapi Ia tidak hanya menyentuh hati, Ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatiikan orang-orang yang ada di hadapinnya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada Ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Pada, Ali bin Abi Thalib, kefasiha dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslimin menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, wariasan retorika Yunani, yang dicmapakkan di Eropa abad pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika moderen. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. II. RETORIKA MODEREN Abad pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selam periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang menyimpan dan mengenbangkan khazanah Yunani dalam perang salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang memmbangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika moderen adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia memperkenalkan betapa pentingnya proses pisikologi dalam studi retorika. Ia menyatakan, ”..... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologi yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modren. Aliran pertama retorika dalam masa modren, yang menekankan proses psikologi, dikenal sebagai aliran epistemologi. Epistemologi membahas ”teori pengetahuan”, asal-usul, sifat, metode, dan batasan-batasan pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologi berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni yang membahas proses mental). Aliran retorika yang kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Aliran retorika yang ketiga disebut gerakan elokusionis justru menekankan tehnik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petujuk praktis penyampaian pidato, pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada para pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkram perhatian mereka. Dibawah ini diperkenalkan sebagaian dari tokoh-tokoh retorika mutahir: 1. James A Winans Ia adalah printis pengguna psikologi modren dalam pidatonya. Bukunya Public Speaking, terbit tahun 1917. sesuai dengan teori Jemes bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologi seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan dan tehnik-tehnik pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950). 2. Charles Henry Woolbert Dalam penyusunan penyiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasinya, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech. 3. William Noorwood Brigance Berbeda denga Woolbert yang menitik beratkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. ”keyakinan”, ujar Brigance, ”jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar. 4. Alan H. Monroe Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi. Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berfikir manusia yang disebutnya motivated sequence. Dewasa ini retorika sebagai publik speaking, oral communication, atau speech communication diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga kepada mahsiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis mahsiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar yang dan berfikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya di banding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Retorika berasal dari bahasa Yunani rhetorica yang berarti seni berbicara, pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan antarpersonal untuk memengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif. Selain itu retorika juga dapat dipakai dalam menyusun argumentasi dan naskah pidato. Littlejohn mendefinisikan kajian retorika secara umum sebagai simbol yang digunakan manusia. Pengertian ini kemudian diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan sekitarnya. Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam retorika ini yaitu, pertama, pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik. Kedua, pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa yang baik tadi. C. Retorika Politik Sejalan dengan perkembangan zaman, retorika juga berkembang menjadi kegiatan komunikasi yang baik kepada orang banyak khususnya dalam dunia politik. Dalam hal ini, retorika bergeser menjadi pernyataan umum, terbuka, dan aktual degan menjadikan masyarakat banyak sebagai sasaran untuk membuat persepsi yang diinginkan para komunikator. Hitler sendiri memberi definisi bahwa retorika politik adalah pers yang tidak tertulis, tetapi dipidatokan sebagai media propaganda untuk membentuk opini publik. Jadi, retorika politik dapat dipahami bahwa suatu kegiatan komunikasi yang menganut seni berbicara dengan cara persuasi untuk membentuk suatu opini terhadap apa yang dinginkan para komunikator kepada masyarakat khususnya masyarakat politik. Retorika pada dasarnya menggunkan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato. Sedangkan pidato adalah konsep yang sama pentingnya dengan retorika sebagai identifikasi atau sebagai simbolisme. Dengan berpidato kepada khalayak secara terbuka akan berkembang wacana publik dan berlangsung proses persuasi. Dan Nimmo menyebut pidato sebagai negosiasi. Dengan adanya retorika politik akan tercipta masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung. I. Jenis-jenis Pidato Ada beberapa jenis pidato yang kita kenal berdasarkan ada tidaknya persiapan dalam berpidato, pada pidato politik dikenal empat jenis pidato yaitu: 1. Impromtu ( pidato yang bersifat mendadak ) yaitu pidato yang diucapkan secara spontan tanpa ada persiapan sebelumnya. Jenis pidato ini sesuai bagi juru pidato yang berpengalaman. Kelebihan dari jenis pidato ini lebih mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, gagasan dan pendapatnya tampak segar dan hidup, dan memungkinkan seseorang terus berpikir untuk menyusun kalimat. Disamping itu kelebihannya adalah gagasan dan pendapat pembicara secara spontan. Namun kelemahannya adalah bagi yang tidak berpengalaman dapat mengakibatkan penyampaiannya tersendat-sendat, gagasan yang disampaikan bisa acak-acakan, dan kemungkinan besar mengalami demam panggung. Kemudian impromptu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah karena pengetahuan dasar pengetahuan yang tidak memadai. 2. Memoriter ( pidato dengan menghafalkan kata – kata yang telah ditulis sebelumnya), yaitu pidato yang ditulis kemudian dihafal satu-persatu kata-demi kata. Jenis pidato ini memungkinkan ditulis dengan gaya ungkapan yang tepat, terorganisasi, terencana, pemilihan bahasa yang teliti, dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian. Akan tetapi bahayanya adalah bila suatu kata atau lebih hilang dalam ingatan atau lupa. 3. Manuskrip ( pidato yang menggunakan naskah ), yaitu pidato dengan naskah tertulis yang dipersiapkan sebelum tampil berpidato. Jenis pidato seperti ini diperlukan oleh tokoh-tokoh nasional sebab kesalahan kecil saja atau kesalahan satu kata saja dapat berakibat fatal bagi sipembicara. Selain itu, jenis ini dipake juga oleh para ilmuan dalam menyampaikan hasil penelitiannya dalam pertemuan ilmiah. 4. Ekstempore ( pidato yang memuat garis besarnya), yaitu pidato yang dipersiapkan sebelumnya beruapa topik khusus atau garis besar dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Jenis pidato inilah yang paling baik dan paling sering digunakan para juru pidato. Komunikator hanya mengatur gagasan yang ada didalam pemikirannya sesuai dengan pedoman yang telah ditulis yakni garis-garis besar atau pokok-pokok pembicaraannya. Keberhasilan pidato politik sangat ditentukan oleh pembicara atau komunikator politik yang didukung oleh persiapan. Sesungguhnya pendengar bukan hanya mendengarkan pidato tetapi juga ingin melihat dan memberika penilaian terhada pembicara. Ketokohan, kredibilitas, dan popularitas seorang pembicara merupakan daya tarik atau daya persuasi tersendiri. II. Tipe – tipe Retorika Politik 1. Retorika Deliberatif Dirancang untuk mempengaruhi orang – orang dalam masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara – acara alternatif dalam melakukan segala sesuatu. Fokusnya ialah pada apa yang akan terjadi di masa depan jika di tentukan kebijakan tertentu. Jadi, ia menciptakan dan memodifikasi pengharapan atas hal – ihwal yang akan datang. Di dalam seluruh tahap politik kita melihat retorika deliberatif. Ketika seorang menteri pertahanan meminta pembiayaan militer yang lebih dasar untuk menghindari ancaman dari kekuatan asing, menteri keuangan meminta ken aikan pajak untuk “meredam api inflasi ”, walikota kota – kota besar meminta bantuan pemerintah federal untuk mencegah kebangkrutan finansial di daerah – daerah metropolitan, dan sebagainya. 2. Retorika Forensik Ia berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Setting – nya yang biasanya adalah ruang pengadilan, tetapi terjadinya di tempat lain. Pemeriksaan pada musim panas tahun 1974 di depan komite Yuridis dari parlemen mengenai kemungkinan didakwanya Presiden Richard Nixon memberi peluang bagi wacana forensik, persis seperti semua acara di depan badan pengaturan pemerintah, pemeriksaan Komisi pengaturan Nuklir untuk mengizinkan pembangunan fasilitas nuklir, pemeriksaan Dewan Hubungan Perburuhan Nasional mengenai perselisihan buruh manajemen dan sebagainya. 3. Retorika Demonstratif Ini adalah wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga, atau gagasan. Kampanye politik penuh dengan retorika demonstratif seperti satu pihak menantang kualifikasi pihak lain bagi jabatan di dalam pemerintahan. Dukungan editorial oleh surat kabar, majalah, televisi, dan radio juga mengikuti garis demonstratif, memperkuat sifat – sifat positif kandidat yang didukung dan sifat – sifat negatif lawannya. III. Teknik – teknik Retorika dalam Politik Menurut Littlejohn sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Arifin di dalam bukunya bahwa ada lima karya agung retorika sebagai pusat tradisi kajian retorika, yaitu : 1. Penemuan (Inventio), ide-ide penemuan, pengaturan ide; bagaimana komunikator membingkai ide-ide tersebut dengan bahasa yang baik. Baik menyangkut topik maupun tekhnik persuasif yang akan digunakan. 2. Penyusunan (Dispositio); penyusunan simbol-simbol terutama yang berkaitan dengan orang dan konteks. Dalam kajian ini, komunikator harus menyusun atau mengorganisasikan pesan-pesan yang akan disampaikan kepada khalayak. 3. Gaya (Elucatio); komunikator harus memperhatikan penyajian dan penggunaan kata pada pesan yang akan diteruskan penyampaiannya kepada khalayak. 4. Daya Ingat (memori); komunikator tidak lagi mengacu pada penghafalan tetapi bagaimana menyimpan dan mengolah informasi yang ada pada ingatannya sehingga selalu diingat kapan dan dimanapun ia butuhkan. 5. Penyampaian (Pronuntiatic); komunikator harus siap selalu menyampaikan pesan jika dibutuhkan dan memperhatian vokal yang ia ucapkan atau intonasi suaranya serta gestur tubuhnya. Ada tiga tipe orator dalam retorika politik, yaitu: 1. Noble Selves: Orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dari pada yang lain, sulit dikritik. 2. Rhetorically Reflector: Orang yang tidak punya pendirian yang teguh, hanya menjadi cerminan orang lain. 3. Rhetorically Sensitive: Orang yang adaptif, cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. BAB IV ANALISIS KASUS Analisis kelompok kami mengenai retorika dari Fauzi Bowo dan Joko Widodo adalah, Fauzi Bowo menggunakan strategi kampanye dengan membentuk retorika politik. Gaya komunikasi Foke yang elegan, intonasi dari setiap suara yang beliau keluarkan semua terstruktur dan dibentuk. Pada saat ada acara debat politik dengan kandidat – kandidat PILGUB DKI Jakarta lain, Foke terlihat sangat terstruktur, busana maupun setiap tampilannya. Ada saatnya dia memegang kumisnya dan ada saatnya dia tersenyum. Busana Foke sendiri menggunakan baju betawi, yang terkesan “betawi banget” lain halnya dengan beberapa kandidat Cagub yang lain. Citra Foke dimata masyarakat sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Citra Foke kian hari makin menurun. Terutama dikalangan media, Foke selalu mempersulit media untuk mewawancarainya, dan sedikit terlihat agak sombong. Maka dari itu, Foke selalu dikabarkan berita – berita negatif mengenai dirinya dan masyarakat sendiri sekarang sudah bisa menilai Foke. Foke termasuk tipe orator kategori Noble Selves, yaitu rang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dan sulit untuk dikeritik. Tipe retorika Fauzi Bowo adalah masuk dari kategori ekstemporer. Yaitu dipersiapkan terlebih dahulu berupa outline dan pokok – pokok penunjang pembahasan, Jenis pidato inilah yang paling baik dan paling sering digunakan para juru pidato. Komunikator hanya mengatur gagasan yang ada didalam pemikirannya sesuai dengan pedoman yang telah ditulis yakni garis-garis besar atau pokok-pokok pembicaraannya. Foke lebih unggul dalam retorika, terlebih dalam forum. Tapi masyarakat memilih lebih melihat figur, siapa yang lebih mereka kenal. Sedangkan Jokowi lebih merakyat dan menjadikan media massa yang menjadi alat kampanye terselubung, dia makan diwarteg agar terlihat dekat dengan rakyat, berdialog dengan warga sekitar dan tentunya menjadi perhatian media massa, gaya ngomongnya pun santai, terlihat seperti dekat dengan warga. Timses dari Jokowi sendiri mengaku tidak sulit untuk membentuk Karakter dari Jokowi. Karena Jokowi sendiri tampil apa adanya. Jokowi memakai strategi kampanyenya pada saat waktu beliau menjadi Cagub Solo. Sasaran kampanye utama Jokowi memnag masyarakat kelas menengah kebawah. Karena masyarakat itu sndiri jarang mengakses berita – beritaa, mereka lebih menyukai mengakses berita gosip dan menonton sinetron. Maka dari itu Jokowi berkampanye turun langsung ke kampung, gang demi gang yang ia telusuri. Karena pada saat kegiatan ini berlangsung akan di muat dimedia, dan masyarakat menengah keatas bisa melihat Jokowi dari berita online maupun media. Jokowi termasuk dalam orator yang retorically sensitive. Jokowi bukan orang Jakarta, tapi bisa cepat beradaptasi dengan suasana Jakarta. Kalau forum debat memang beliau menggunakan bahasa – bahasa keseharian dan tidak berteori. Beliau menggunakan bahasa yang ringan dan mudah di fahami oleh sema masyarakat. Kampanye Jokowi sendiri dia jual program pastinya, bukan janji – janji, dan sangat menarik. Jokowi juga mengumbar prestasi dia sebagai wali Solo dan menjadi salah satu Gubernur terbaik. Diangkatnya dia menjadi cagub oleh PDIP dan Gerindra salah satu alasannya adalah ia dianggap sukses membangun kota Solo. Jokowi sangat inovatif, dia selalu membuat hal – hal yang berbeda untuk menarik simpati rakyat dengan isu perubahannya. Citra Jokowi dan Ahok sangat bagus, walau terlempar isu – isu mengenai mereka. Melihat dari pidato Jokowi, beliau masuk dalam kategori Impromptu, ( pidato yang bersifat mendadak ) yaitu pidato yang diucapkan secara spontan tanpa ada persiapan sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA Anwar Arifin, Komuniasi Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011) Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2007) Drs. Wahidin Saputra M.A, RETORIKA MONOLOGIKA: Kiat dan Tips Praktis Menjadi Mubaligh, (Bogor: Titian Nusa Press, 2010) Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), cet.ke-3. (Aristoteles, 1954:45) dalam Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet.ke-25. Menyoroti Komunikasi Politik PARPOL, DITERBITKAN ATAS KERJA SAMA : BALAI PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA BANDUNG (BP2KI) BADAN LITBANG SDM DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN PENERBIT SIMBIOSA REKATAMA MEDIA BANDUNG, 2009. Dan Nimmo, KOMUNIKASI POLITIK : Komunikator, Pesan, dan Media, (Bandung: PT. Renaja Rosdakarya), Cet.1 1989, Cet.2 1993. Gun Gun Heryanto, M. Si dan Ade Rina Farida, M.Si, KOMUNIKASI POLITIK, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), Cet. 1, 2011. Gun Gun Heryanto, M. Si, DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK, (Jakarta: PT. Lasswell Visitama, 2011). INTERNET: http://news.okezone.com/read/2012/07/12/505/662194/jokowi-vs-foke-ibarat-pertarungan-calon-pejuang-dan-calon-pecundang. Diakses pada hari Rabu, 18 Juli 2012, pukul 19.43 WIB. http://fokus.news.viva.co.id/news/read/335022-adu-siasat-jokowi-dan-foke-di-putaran-ii . Diakses pada hari Rabu, 18 Juli 2012, pukul 20.05 WIB. news.detik.com/read/2012/07/25/070128/1974020/10/putaran-kedua-pilgub-dki-adu-integritas-foke-vs-jokowi?9922022 Diakses pada hari Kamis 19 Juli 2012, pukul 11.12 WIB.   LAMPIRAN Opini Akademisi Mengenai Retorika Politik Fauzi Bowo (Foke) – Joko Widodo (Jokowi): 1. Ade Irfan Abdurrahman ( Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester 9) “Menurut saya retorika politik Foke itu elitis (entah itu ilmiah atau di bentuk oleh tim suksesnya). Dalam beberapa kesempatan foke selalu tampil elegan dan berbicara dengan teratur dan rapih yang selalu mengatasnamakan pekerjaan dia sebagai seorang Gubernur. Sedangkan Jokowi lebih merakyat dan menjadikan media massa yang menjadi alat kampanye terselubung, dia makan diwarteg agar terlihat dekat dengan rakyat, berdialog dengan warga sekitar dan tentunya menjadi perhatian media massa, gaya ngomongnya pun santai, terlihat ndeso dan merakyat banget.” 2. Arsikh Mawaddaw Warohmah (Mahasiswi Universitas Nasional Jurusan Hubungan Internasional Semester 9) “Menurut saya retorika Jokowi cenderung lebih sederhana ketimbang Foke yang condong lebih birokrat dan baku, Karena target Jokowi lebih kepada massa golongan menengah bawah ketimbang Foke targetnya ke elit. Kelas menengah bawah cenderung lebih menyukai tata bahasa yang santai dan sederhana, ketimbang yang bake dan terlalu birokrat. Strategi keduanya juga berbeda, dan kedua strategi politik mereka makin kuat dan realis.” 3. Gana Buana ( Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester 9) “Kalau Pakde Joko itu dilihat dari background etnisitas tidak diraguin lagi, jelas – jelas dia wong jowo. Orang Jawa itu memang dikenal lembut, santun dalam bertutur kata, Pakde Jokowi memenuhi kriteria tersebut, kemudian beliau bisa termasuk dalam orator yang retorically sensitive. Jokowi bukan orang Jakarta, tapi bisa cepat beradaptasi dengan suasana Jakarta. Kalau forum debat memang beliau kurang, berbicara agak lemah, tapi beliau lebih match berada di lapangan, terjun langsung dengan gayanya yang “down to earth” dan tokoh yang populis. Dibandingkan dengan Foke, Foke lebih unggul dalam retorika, terlebuh dalam forum. Tapi masyarakat memilih lebih melihat figur, siapa yang lebih mereka kenal. Pendekatan Jokowi ke warga dan gaya berbicara yang lugu mungkin yang lebih bisa diterima di tengah masyarakat Jakarta.” 4. Eni Wibowo (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester 9) “Saya kurang tau banget di Solo Jokowi seperti apa, tapi yang saya lihat dari kampanye Jokowi sendiri dia jual program pastinya, bukan janji – janji, menurut saya itu sangat menarik. Melihat retorika Jokowi dia low culture yang sesuai dengan target pemilih dia. Kalo Fauzi Bowo sih biasa aja, melainkan sok akademis, sok betawi, solusif dan tebar janji, gak ada bedanya dengan calon pada umumnya. Setiap Foke kampanye maupun acara debat politik, busana yang dia kenakan mencerminkan kalau dia adalah betawi banget atau cinta Jakarta, padahal kita selediki dengan kinerja dia selama ini tidak sebanding dengan apa yang pernah dia ucap.” 5. Luqman Karim (Alumni UNAS Jurusan Hukum dan Wartawan VIVAnews.com) Retorika Foke sama Jokowi itu beda banget. Kalau Foke yang saat ini sebagai incumbent bisa dibilang dalam retorikanya lebih banyak mengumbar apa yang sudah ia lakukan selama lima tahun belakangan. Makanya janji – janji kampanyenya banyak yang berisi sekolah gratis, pendidikan gratis, yang dianggapnya capaiannya selama lima tahun ia memimpin. Jokowi pun tidak jauh, ia juga mengumbar prestasi dia sebagai wali Solo dan menjadi salah satu Gubernur terbaik. Diangkatnya dia menjadi cagub oleh PDIP dan Gerindra salah satu alasannya adalah ia dianggap sukses membangun kota Solo. Jadi mereka ingin menularkan kesuksesan Solo di Jakarta. Marketing politiknya adalah langsung terjun kerakyat. Turun dari gang ke gang, keliling kampung, dan membuat pencitraan kalau antara dirinya dan rakyat tidak ada jarak. Ini bedanya dengan Foke yang Absen ketika waktu kampanye dan hanya mengandalkan pasangannya Nachrowi Ramli untuk turun ke lapangan, itupun tidak seperti Jokowi yang turun kampung to kampung.” 6. Haerul Faqih (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Ilmu Hukum) “Pendapat saya tentang Jokowi adalah dia selalu membuat hal – hal yang berbeda untuk menarik simpati rakyat dengan isu perubahannya, sedangkan Foke dengan gaya memberi janji dan mengumbar prestasinya selama 5 tahun.” 7. Aimatunnisa (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam) “Menurut saya, Jokowi itu rada mirip gaya komunikasinya dengan Obama, pertama Jokowi pengicau di twitter, ada yang bilang strategi Jokowi terinspirasi dengan Obama. Kedua, menggaet anak muda sebagai agent of change, walaupun jumlah follower Jokowi tak sebanding Obama. Ketiga, Jokowi menyerang rivalnya dengan cara pelan tapi pasti. Keempat, ketika Jokowi berpidato, punya gaya yang menarik seperti Obama, bahasanya sederhana, menggunakan bahasa keseharian, dan membuat masyarakat urban bisa lebih menerima keberadaannya dibandingkan dengan Cagub lain. Beda halnya dengan Foke, personality Foke itu kepribadian bentukan politikus kelas atas yang penuh retorika, bukan kepribadian dengan kacamata kelas kebawah, bisa dibilang Foke adalah simbol penguasa. Sedangkan Jokowi simbol rakyat jelata. Foke dengan menggunakan bahasa yang lugas, ceplas – ceplos, Foke seperti pemimpin Nazi Jerman, Hitler.” 8. Ahmad Fauzi (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam) “Jokowi merupakan sosok pemimpin yang sederhana yang diidamkan oleh rakyat. Citranya dimedia sudah terlalu baik ketika masih menjabat Walikota Solo. Jokowi adalah Tipe pemimpin yang memiliki jiwa retorically sensitive yang cepat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Foke pemimpin yang dikenal memang sudah jauh dari media yang membuat citranya kian memperburuk dikalangan masyarakat. Foke termasuk kategori Noble Selves, orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dan sulit untuk dikeritik.”   WAWANCARA I. TIMSES Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli K.H. Muhammad Rusydi Ali, lahir di Jakarta, 10 Oktober 1954. Riwayat pendidikan di Perguruan Rakyat, kemudian STN Tekhnik Perkapalan dan STM Budi Utomo. Beliau adalah seorang ulama, bukan dari partai politik maupun marketing politik. Beliau ini adalah Dewan Penasihat Majlis Taklim “Al – Fawuz” Jakarta Selatan dan salah satu sahabat karibnya Fauzi Bowo sekaligus menjadi Timsesnya. Tokoh Masyarakat Kampung Melayu ini sangat dekat dengan Fauzi Bowo ketika beliau menjabat sebagai sekretaris Daerah dan hingga kini. 1. Seperti apa sosok Fauzi Bowo dan Nahrowi dimata bapak? J: Fauzi Bowo bisa dikatakan sebagai salah seorang profile pemimpin yang sangat ideal, sangat agamis selalu berpandangan terhadap nilai – nilai agama. 2. Ketika Foke sedang pidato kampanye ke warga, isi pidato yang disampaikan merupakan sesuatu yang baru di fikirkan atau sudah dipersiapkan terlebih dahulu? J: Foke sangat cerdas, dia melakukan sesuatu berfikir terlebih dahulu lalu bergerak. 3. Apakah Foke menggunakan naskah dalam berpidato? J: Foke tidak pernah menggunakan naskah dalam pidatonya. 4. Nahrowi selalu di belakang bayangan Foke, jarang terlihat bersuara, apa tanggapan bapak? J: Nachrowi memiliki keterbatasan – keterbatasan, pada saat Foke cuti kerja untuk kampanye, waktu tersebut digunakan oleh Foke. Dan ketika Foke sedang bekerja, Nachrowilah yang bergerak. 5. Dalam beberapa acara debat di terlihat emosional ketika menanggapi kritikan lawannya, apa tanggapan bapak? J: Fauzi Bowo memiliki kepribadian yang baik, dia tidak emosional, hanya tegas dan berwibawa. 6. Strategi apa yang akan dibuat timses Foke untuk putaran ke – 2? J: Strategi dari Foke sendiri melanjutkan program yang telah disusun, sesuai dengan aqidah dan syari’at. 7. Jokowi dikenal merakyat dan tidak korupsi, sedangkan Foke dikenal sebagai pribadi yang keras dan religius. Bagaimana pandangan bapak terhadap image tersebut? J: Masyarakat kita bukan masyarakat yang bodoh, masyarakat kita merupakan masyarakat yang cerdas. Pastinya mereka tau siapakah pemimpin yang sebenar – benarnya. Dan masalah image itu semua tergantung masyarakat yang menilai. 8. Foke di cap masyarakat sudah gagal menjadi gubernur, sekarang bagaimana caranya untuk membangun citra Foke untuk meyakinkan masyarakat? J: Masyarakat yang mengatakan Foke gagal, adalah masyarakat yang menilai dari isu – isu dan tidak mengikuti perkembangan dengan baik. Apabila Foke telah dianggap gagal, maka tidak ada satupun yang memilihnya di putaran pertama kemarin. 9. Apa pandangan bapak melihat pilgub putaran I ? J: Pilgub pertama berjalan seperti waktunya dan masyarakat sendiri bisa memilih siapa yang benar – benar layak untuk menjadi pemimpin Jakarta. II. TIMSES Joko Widodo dan Basuki Hasan Nasbi 1. Seperti apa sosok Jokowi dimata bapak? 2. Apa visi misi Jokowi untuk Jakarta? 3. Strategi apa yang akan dibuat tim sukses Jokowi untuk putaran ke II ? 4. Melihat Jokowi di media, media meliput Jokowi sedang berjalan – jalan di pasar, makan di warteg, berinteraksi langsung dengan rakyat, apakah itu merupakan strategi marketing politik dari Jokowi? 5. Banyak isu – isu tentang Jokowi dan Ahok mengenai SARA, agama maupun etnis. Bagaimana anda menanggapi isu – isu tersebut dan apa yang akan dilakukan TIMSES agar citra Jokowi Ahok tidak menurun mengenai isu tersebut? 6. Jokowi terlihat sangat dekat dengan rakyat menengah kebawah, sangat ideal, tidak elitis. Apakah itu semua sudah direncanakan terlebih dahulu dan apakah sasaran utama Jokowi adalah masyarakat menengah ke bawah? 7. Jokowi bersilaturrahmi dengan kandidat Gubernur Jakarta Putaran I, apakah itu semata – mata bersilaturrahmi atau adanya negosiasi politik seperti meminta suara hak pilih kepada kandidat – kandidat sebelumnya? 8. Dalam berkampanye, apakah isi pidato Jokowi sudah direncanakan sebelumnya atau spontanitas dan tidak difikirkan sebelumnya?

ANALISIS TERHADAP RETORIKA POLITIK PARA KANDIDAT PILGUB DKI JAKARTA DEKADE 2014 (Studi Kasus Terhadap Fauzi Bowo dan Jokowi dalam PILGUB DKI Jakarta Putaran Ke - II)

KOMUNIKASI POLITIK ANALISIS TERHADAP RETORIKA POLITIK PARA KANDIDAT PILGUB DKI JAKARTA DEKADE 2014 (Studi Kasus Terhadap Fauzi Bowo dan Jokowi dalam PILGUB DKI Jakarta Putaran Ke - II) DISUSUN OLEH : Khairunnisa M. Ilyas Ali Herdina Rosidi JURUSAN KOMUNIKASI dan PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH dan ILMU KOMUNIKASI UIN JAKARTA 2012 BAB I PENDAHULUAN DKI Jakarta adalah kota yang sangat besar, tidak mudah untuk mengatur kota sebesar ini. Masyarakat Jakarta sedang dihujani pertanyaan – pertanyaan siapa yang layak untuk mereka pilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dekade 2014 ini? Pada umumnya masyarakat kini makin kritis serta informatif yang pastinya mereka sudah mengantongkan nama pilihannya yang akan dipilih. Mengingat kembali hasil perolehan suara pemilihan Calon Gubernur DKI Jakarta pada putaran pertama yang diselenggarakan pada tanggal 11 Juli 2012 ialah Joko Widodo dan basuki (43 %) dan disusul oleh pasangan Fauzi bawo dan Nachrowi Ramli (33 %), Hidatay Nur Wahid – Didiek Rachbini (12 %), Alex Noerdin – Nono (4,74), Faisal Basri – Biem Benyamin (4,99) dan Hendarji – Riza (2,05). Dua Calon Gubernur yang akan masuk ke putaran kedua adalah pasangan Joko Widodo – Basuki dan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli. Pada putaran pertama Jokowi dan pasangannya Ahok terbukti dapat memenangkan dalam putaran pertama. Ketika Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo, beliau memang dikenal merakyat, tidak elitis, bersih dari korupsi dan prestasi – prestasi beliau sudah terdengar di kuping masyarakat Jakarta, inilah salah satu penyebab Jokowi mengapa beliau menjadi pemenang dalam putaran pertama. Begitu pula dengan lawannya dari incumbent, yakni Fauzi Bowo beliau mengumbar segala kinerja – kinerja yang telah terlaksana selama 5 tahun menjabat dan menyebarkan pula janji – janji baru untuk memperoleh simpati maupun dukungan dari masyarakat. Menyongsong untuk putaran kedua yang berjatuh pada tanggal 20 September 2012, kedua pasangan tersebut mempersiapkan strategi – strategi baru yang telah dipersiapkan oleh timsesnya masing – masing. Foke dan Jokowi masing – masing memiliki integritas yang berbeda. Keduanya merupakan kepala daerah yang masih aktif menjabat (incumbent), sehingga memiliki modal yang sama sebagai pemimpin kepala daerah. Menurut anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Martin Hutabarat, ada 2 faktor yang paling penting, yaitu kepercayaan publik terhadap integritas seseorang dan harapannya terhadap figur tersebut. Dan pastinya masyarakat bisa memilih siapa yang akan mereka pilih untuk menjadi Gubernur Jakarta pada putaran ke II. BAB II KASUS Melihat kinerja Fauzi Bowo atau Foke panggilan akrabnya selama 5 tahun masyarakat bisa menilai. Dimata masyarakat Jakarta Foke telah dianggap GAGAL sebagai Gubernur Jakarta dekade 2012. Diantaranya program kerja Foke seperti menambah jalan layang di daerah ibu kota, meng – ACC kan beberapa pengusaha – pengusaha untuk mendirikan mall di beberapa daerah pusat kota, itu hanya membuat kota Jakarta semakin padat dan macet yang tak ujung usai. Kini Foke hadir kembali mencalonkan dirinya sebagai Gubernur Jakarta dekade 2014. Citra Fauzi Bowi (Foke) pada saat ini kian menurun, ditambah lagi dengan beberapa peristiwa belakang ini yang menyangkut dirinya. Foke membuat strategi seperti Pilkada DKI 2007 yang telah ia menangkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dekade 2012. Yaitu menggunakan “Konsep Blocking” dengan strategi penguasaan partai – partai pada level elite dimana Foke melakukan koalisi besar pada partai PKS, PPP, PAN, Demokrat dan Golkar. Karena akan sangat mungkin elite partai di DPP memberi endorsement ke Foke-Nara. (Gun Gun Heryanto kepada merdeka.com, Minggu (22/7) ). Partai – partai elite tersebut berpihak kepada Fauzi Bowo karena pertimbangan elektoral 2014, yaitu mereka sensitif atau sentimen terhadap partai PDIP dan Gerindra. Begitu juga dengan Joko Widodo atau Jokowi panggilan akrabnya, calon Gubernur DKI Jakarta, prestasi Jokowi menjadi Gubernur kota Solo masyarakat juga bisa menilai. Jokowi hadir sebagai sosok pribadi yang santun, tidak elitis, dan merakyat. Jokowi didukung oleh partai PDI P dan Gerindra. Strategi Jokowi – Ahok bersifat inovatif yang membuat banyak simpati masyarakat. Seperti halnya langsung turuk ke kampung, makan di warteg, jalan – jalan ke pasar, serta berinteraksi langsung dengan masyarakat. Ditambah lagi pencitraannya sangat kuat, yang sasaran utamanya adalah masyarakat menengah kebawah. Tidak ada berita cacat di media mengenai Jokowi – Ahok. Apakah media bekerjasama atas pencitraan Jokowi – Ahok? Kemudian isu SARA, agama dan juga etnis digunakan lawannya sebagai alat “name calling” untuk menjatuhkan Jokowi – Ahok. Tapi dengan isu tersebut membuktikan bahwa masyarakat kita pada umumnya lebih melihat seorang figur yang menghasilkan Jokowi – Ahok memenangkan di PILGUB pertama. Pada putaran kedua Pemilihan Gubernur DKI Jakarta diyakini akan menjadi adu integritas antara Fauzi Bowo (Foke panggilan sapaannya) dan Joko Widodo (Jokowi). Masing – masing calon memiliki integritas. Timses Foke maupun Jokowi bekerja keras menyusun strategi untuk putaran kedua. Beberapa hari yang lalu, Jokowi dan pasangannya Ahok bersilaturrahmi ke sejumlah kandidat – kandidat calon Gubernur DKI Jakarta yang tidak lolos pada putaran pertama. Yakni, Hidayat Nur Wahid, Alex Nurdin, Faisal Basri, dan Hendarji. Tetapi sebenarnya apa motif dibalik agenda ini? Apakah semata- mata silaturrahmi atau ada negosiasi politik Jokowi dengan kandidat - kandidat PILGUB yang tidak lolos di putaran pertama. Kemudian disusul oleh Foke yang membuat program sahur keliling bareng warga, shalat tarawikh keliling, dan menyusun – menyusun kegiatan religius selama bulan puasa. Masing – masing kandidat memiliki strategi kampanye yang berbeda – beda, serta keduanya juga memiliki perbedaan dalam segi retorika politik. Retorika sangat berpengaruh dalam kampanye, karena di dalam pidato kampanye tersimpan propaganda memiliki daya pengaruh yang kuat dalam merayu politik. Retorika tersebut menggunakan suara berintonasi yang bagus, gerak tubuh yang meyakinkan, serta menggunakan kata – kata bersifat persuasif. BAB III TEORI A. PENGERTIAN RETORIKA Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorika. Retorika adalah ilmu berbicara. Dalam bahasa Inggris, yaitu rhetoric dan dari kata Latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Bagi Aristoteles retorika adalah seni persuasi, suatu yang harus singkat, jelas dan meyakinkan, dengan keindahan bahasa yang disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah (instructive), mendorong (suggestive) dan mempertahankan (defensive). Retorika berasal dari bahasa Yunani rhetorica yang berarti seni berbicara, pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan antarpersonal untuk memengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif. Selain itu retorika juga dapat dipakai dalam menyusun argumentasi dan naskah pidato. Littlejohn mendefinisikan kajian retorika secara umum sebagai simbol yang digunakan manusia. Pengertian ini kemudian diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan sekitarnya. Retorika adalah komunikasi dua arah, face to face, satu atau lebih orang (seorang berbicara kepada beberapa orang maupun seorang bicara kepada seorang lain) masing – masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama lain. Retorika menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato. Sasaran persuasi timbal balik itu, tentu saja tidak perlu dibatasi hanya pada orang – orang yang turut dalam perdebatan: para ahli retorika dapat juga berusaha mempengaruhi pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk membantu yang di persuasi dalam membangun citra tentang masa depan, masa untuk bertindak: melalui retorika, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan kepercayaan, nilai, pengharapan mereka. Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam retorika ini yaitu, pertama, pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik. Kedua, pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa yang baik tadi. Aristoteles menulis: “Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik daripada orang lain: ini berlaku umumnya pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan sementara penulis retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya; sebaliknya, karakternya hampir bisa disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya.” Retorika merupakan “art of speach” (seni berbicara). Yakni suatu bentuk komunikasi yang diarahkan pada penyampaian pesan dengan maksud mempengaruhi khalayak agar dapat memperhatikan pesan yang disampaikan secara baik. Retorika menggabungkan antara argumentasi pesan, cara penyampaian yang menarik serta kredibilitas diri pembicara, sehingga melahirkan impresi tertentu bagi khalayak. Dengan demikian retorika politik merupakan seni berbicara kepada khalayak politik, dalam upaya mempengaruhi khalayak tersebut agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator politik. Retorika mengandung banyak unsur persuasi, seperti unsur gaya dan keindahan yang mencakup suara yang berirama, intonasi yang bagus, kata – kata yang indah, serta postur dan gerak tubuh yang dapat menarik dan meyakinkan. Retorika merupakan komunikasi verbal dan nonverbal yang memiliki unsur persuasi dengan daya pengaruh yang kuat dalam merayu puiblik. Dengan adanya unsur persuasi yang melekat pada retorika, mendorong para politikus memanfaatkan retorika sebagai salah satu bentuk komunikasi yang efektif dalam merayu opini publik. (Hofsatter dalam Arifin, 1985, dikutip kembali dalam Arifin, 2010:214) B. SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan dan sebagainya. Pidato disampaikan pada orang yang mempunyai setatus tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. ”sejarah manusia”, kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah,”terutama sekali dalam catatan peristiwa penting yang dramatis, yang sering kai disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaia pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkena; dengan kefasihan bicaranya yang menawan”. Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni yang diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktaktor ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykan terjadi. Untuk mengabil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri dipengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan berbicara saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh tanahnya, hannya karena tidak pandai bericara. Untuk membantu memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang ”tehnik kemungkinan”. Bila kita tidak bisa memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut dipengadilan untuk pertama kalinya. Dengan tehnik kemungkinan, kita bertanya, ”Ia pernah dicuri dan pernah dihukum. Mana mungkin dia berani melakukan lagi hal yang sama”. Akhirnya, retorika memang mirip ”ilmu silat lidah”. I. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kewarganegaraan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, ”membicarakan” diganti dengan ”menembak” retorika tersingkir kebelakan panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang pandai berbicara. Abad pertengahan sering disebat dengan abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampun untuk menyapaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu. Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari tehnik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan Firman Tuhan, “Berilah mereka nasiahat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Al-qur’an 4:63). Muahammad SAW, bersabda memperteguh Firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya” Ia sendiri seorang pembicara yang fasih dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para dahabat bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengaran berguncang hatinya dan berinang air mata. Tetapi Ia tidak hanya menyentuh hati, Ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatiikan orang-orang yang ada di hadapinnya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada Ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Pada, Ali bin Abi Thalib, kefasiha dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslimin menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, wariasan retorika Yunani, yang dicmapakkan di Eropa abad pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika moderen. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. II. RETORIKA MODEREN Abad pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selam periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang menyimpan dan mengenbangkan khazanah Yunani dalam perang salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang memmbangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika moderen adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia memperkenalkan betapa pentingnya proses pisikologi dalam studi retorika. Ia menyatakan, ”..... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologi yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modren. Aliran pertama retorika dalam masa modren, yang menekankan proses psikologi, dikenal sebagai aliran epistemologi. Epistemologi membahas ”teori pengetahuan”, asal-usul, sifat, metode, dan batasan-batasan pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologi berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni yang membahas proses mental). Aliran retorika yang kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Aliran retorika yang ketiga disebut gerakan elokusionis justru menekankan tehnik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petujuk praktis penyampaian pidato, pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada para pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkram perhatian mereka. Dibawah ini diperkenalkan sebagaian dari tokoh-tokoh retorika mutahir: 1. James A Winans Ia adalah printis pengguna psikologi modren dalam pidatonya. Bukunya Public Speaking, terbit tahun 1917. sesuai dengan teori Jemes bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologi seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan dan tehnik-tehnik pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950). 2. Charles Henry Woolbert Dalam penyusunan penyiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasinya, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech. 3. William Noorwood Brigance Berbeda denga Woolbert yang menitik beratkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. ”keyakinan”, ujar Brigance, ”jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar. 4. Alan H. Monroe Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi. Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berfikir manusia yang disebutnya motivated sequence. Dewasa ini retorika sebagai publik speaking, oral communication, atau speech communication diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga kepada mahsiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis mahsiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar yang dan berfikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya di banding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Retorika berasal dari bahasa Yunani rhetorica yang berarti seni berbicara, pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan antarpersonal untuk memengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif. Selain itu retorika juga dapat dipakai dalam menyusun argumentasi dan naskah pidato. Littlejohn mendefinisikan kajian retorika secara umum sebagai simbol yang digunakan manusia. Pengertian ini kemudian diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan sekitarnya. Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam retorika ini yaitu, pertama, pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik. Kedua, pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan menggunakan bahasa yang baik tadi. C. Retorika Politik Sejalan dengan perkembangan zaman, retorika juga berkembang menjadi kegiatan komunikasi yang baik kepada orang banyak khususnya dalam dunia politik. Dalam hal ini, retorika bergeser menjadi pernyataan umum, terbuka, dan aktual degan menjadikan masyarakat banyak sebagai sasaran untuk membuat persepsi yang diinginkan para komunikator. Hitler sendiri memberi definisi bahwa retorika politik adalah pers yang tidak tertulis, tetapi dipidatokan sebagai media propaganda untuk membentuk opini publik. Jadi, retorika politik dapat dipahami bahwa suatu kegiatan komunikasi yang menganut seni berbicara dengan cara persuasi untuk membentuk suatu opini terhadap apa yang dinginkan para komunikator kepada masyarakat khususnya masyarakat politik. Retorika pada dasarnya menggunkan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato. Sedangkan pidato adalah konsep yang sama pentingnya dengan retorika sebagai identifikasi atau sebagai simbolisme. Dengan berpidato kepada khalayak secara terbuka akan berkembang wacana publik dan berlangsung proses persuasi. Dan Nimmo menyebut pidato sebagai negosiasi. Dengan adanya retorika politik akan tercipta masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung. I. Jenis-jenis Pidato Ada beberapa jenis pidato yang kita kenal berdasarkan ada tidaknya persiapan dalam berpidato, pada pidato politik dikenal empat jenis pidato yaitu: 1. Impromtu ( pidato yang bersifat mendadak ) yaitu pidato yang diucapkan secara spontan tanpa ada persiapan sebelumnya. Jenis pidato ini sesuai bagi juru pidato yang berpengalaman. Kelebihan dari jenis pidato ini lebih mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, gagasan dan pendapatnya tampak segar dan hidup, dan memungkinkan seseorang terus berpikir untuk menyusun kalimat. Disamping itu kelebihannya adalah gagasan dan pendapat pembicara secara spontan. Namun kelemahannya adalah bagi yang tidak berpengalaman dapat mengakibatkan penyampaiannya tersendat-sendat, gagasan yang disampaikan bisa acak-acakan, dan kemungkinan besar mengalami demam panggung. Kemudian impromptu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah karena pengetahuan dasar pengetahuan yang tidak memadai. 2. Memoriter ( pidato dengan menghafalkan kata – kata yang telah ditulis sebelumnya), yaitu pidato yang ditulis kemudian dihafal satu-persatu kata-demi kata. Jenis pidato ini memungkinkan ditulis dengan gaya ungkapan yang tepat, terorganisasi, terencana, pemilihan bahasa yang teliti, dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian. Akan tetapi bahayanya adalah bila suatu kata atau lebih hilang dalam ingatan atau lupa. 3. Manuskrip ( pidato yang menggunakan naskah ), yaitu pidato dengan naskah tertulis yang dipersiapkan sebelum tampil berpidato. Jenis pidato seperti ini diperlukan oleh tokoh-tokoh nasional sebab kesalahan kecil saja atau kesalahan satu kata saja dapat berakibat fatal bagi sipembicara. Selain itu, jenis ini dipake juga oleh para ilmuan dalam menyampaikan hasil penelitiannya dalam pertemuan ilmiah. 4. Ekstempore ( pidato yang memuat garis besarnya), yaitu pidato yang dipersiapkan sebelumnya beruapa topik khusus atau garis besar dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Jenis pidato inilah yang paling baik dan paling sering digunakan para juru pidato. Komunikator hanya mengatur gagasan yang ada didalam pemikirannya sesuai dengan pedoman yang telah ditulis yakni garis-garis besar atau pokok-pokok pembicaraannya. Keberhasilan pidato politik sangat ditentukan oleh pembicara atau komunikator politik yang didukung oleh persiapan. Sesungguhnya pendengar bukan hanya mendengarkan pidato tetapi juga ingin melihat dan memberika penilaian terhada pembicara. Ketokohan, kredibilitas, dan popularitas seorang pembicara merupakan daya tarik atau daya persuasi tersendiri. II. Tipe – tipe Retorika Politik 1. Retorika Deliberatif Dirancang untuk mempengaruhi orang – orang dalam masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara – acara alternatif dalam melakukan segala sesuatu. Fokusnya ialah pada apa yang akan terjadi di masa depan jika di tentukan kebijakan tertentu. Jadi, ia menciptakan dan memodifikasi pengharapan atas hal – ihwal yang akan datang. Di dalam seluruh tahap politik kita melihat retorika deliberatif. Ketika seorang menteri pertahanan meminta pembiayaan militer yang lebih dasar untuk menghindari ancaman dari kekuatan asing, menteri keuangan meminta ken aikan pajak untuk “meredam api inflasi ”, walikota kota – kota besar meminta bantuan pemerintah federal untuk mencegah kebangkrutan finansial di daerah – daerah metropolitan, dan sebagainya. 2. Retorika Forensik Ia berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Setting – nya yang biasanya adalah ruang pengadilan, tetapi terjadinya di tempat lain. Pemeriksaan pada musim panas tahun 1974 di depan komite Yuridis dari parlemen mengenai kemungkinan didakwanya Presiden Richard Nixon memberi peluang bagi wacana forensik, persis seperti semua acara di depan badan pengaturan pemerintah, pemeriksaan Komisi pengaturan Nuklir untuk mengizinkan pembangunan fasilitas nuklir, pemeriksaan Dewan Hubungan Perburuhan Nasional mengenai perselisihan buruh manajemen dan sebagainya. 3. Retorika Demonstratif Ini adalah wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga, atau gagasan. Kampanye politik penuh dengan retorika demonstratif seperti satu pihak menantang kualifikasi pihak lain bagi jabatan di dalam pemerintahan. Dukungan editorial oleh surat kabar, majalah, televisi, dan radio juga mengikuti garis demonstratif, memperkuat sifat – sifat positif kandidat yang didukung dan sifat – sifat negatif lawannya. III. Teknik – teknik Retorika dalam Politik Menurut Littlejohn sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Arifin di dalam bukunya bahwa ada lima karya agung retorika sebagai pusat tradisi kajian retorika, yaitu : 1. Penemuan (Inventio), ide-ide penemuan, pengaturan ide; bagaimana komunikator membingkai ide-ide tersebut dengan bahasa yang baik. Baik menyangkut topik maupun tekhnik persuasif yang akan digunakan. 2. Penyusunan (Dispositio); penyusunan simbol-simbol terutama yang berkaitan dengan orang dan konteks. Dalam kajian ini, komunikator harus menyusun atau mengorganisasikan pesan-pesan yang akan disampaikan kepada khalayak. 3. Gaya (Elucatio); komunikator harus memperhatikan penyajian dan penggunaan kata pada pesan yang akan diteruskan penyampaiannya kepada khalayak. 4. Daya Ingat (memori); komunikator tidak lagi mengacu pada penghafalan tetapi bagaimana menyimpan dan mengolah informasi yang ada pada ingatannya sehingga selalu diingat kapan dan dimanapun ia butuhkan. 5. Penyampaian (Pronuntiatic); komunikator harus siap selalu menyampaikan pesan jika dibutuhkan dan memperhatian vokal yang ia ucapkan atau intonasi suaranya serta gestur tubuhnya. Ada tiga tipe orator dalam retorika politik, yaitu: 1. Noble Selves: Orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dari pada yang lain, sulit dikritik. 2. Rhetorically Reflector: Orang yang tidak punya pendirian yang teguh, hanya menjadi cerminan orang lain. 3. Rhetorically Sensitive: Orang yang adaptif, cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. BAB IV ANALISIS KASUS Analisis kelompok kami mengenai retorika dari Fauzi Bowo dan Joko Widodo adalah, Fauzi Bowo menggunakan strategi kampanye dengan membentuk retorika politik. Gaya komunikasi Foke yang elegan, intonasi dari setiap suara yang beliau keluarkan semua terstruktur dan dibentuk. Pada saat ada acara debat politik dengan kandidat – kandidat PILGUB DKI Jakarta lain, Foke terlihat sangat terstruktur, busana maupun setiap tampilannya. Ada saatnya dia memegang kumisnya dan ada saatnya dia tersenyum. Busana Foke sendiri menggunakan baju betawi, yang terkesan “betawi banget” lain halnya dengan beberapa kandidat Cagub yang lain. Citra Foke dimata masyarakat sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Citra Foke kian hari makin menurun. Terutama dikalangan media, Foke selalu mempersulit media untuk mewawancarainya, dan sedikit terlihat agak sombong. Maka dari itu, Foke selalu dikabarkan berita – berita negatif mengenai dirinya dan masyarakat sendiri sekarang sudah bisa menilai Foke. Foke termasuk tipe orator kategori Noble Selves, yaitu rang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dan sulit untuk dikeritik. Tipe retorika Fauzi Bowo adalah masuk dari kategori ekstemporer. Yaitu dipersiapkan terlebih dahulu berupa outline dan pokok – pokok penunjang pembahasan, Jenis pidato inilah yang paling baik dan paling sering digunakan para juru pidato. Komunikator hanya mengatur gagasan yang ada didalam pemikirannya sesuai dengan pedoman yang telah ditulis yakni garis-garis besar atau pokok-pokok pembicaraannya. Foke lebih unggul dalam retorika, terlebih dalam forum. Tapi masyarakat memilih lebih melihat figur, siapa yang lebih mereka kenal. Sedangkan Jokowi lebih merakyat dan menjadikan media massa yang menjadi alat kampanye terselubung, dia makan diwarteg agar terlihat dekat dengan rakyat, berdialog dengan warga sekitar dan tentunya menjadi perhatian media massa, gaya ngomongnya pun santai, terlihat seperti dekat dengan warga. Timses dari Jokowi sendiri mengaku tidak sulit untuk membentuk Karakter dari Jokowi. Karena Jokowi sendiri tampil apa adanya. Jokowi memakai strategi kampanyenya pada saat waktu beliau menjadi Cagub Solo. Sasaran kampanye utama Jokowi memnag masyarakat kelas menengah kebawah. Karena masyarakat itu sndiri jarang mengakses berita – beritaa, mereka lebih menyukai mengakses berita gosip dan menonton sinetron. Maka dari itu Jokowi berkampanye turun langsung ke kampung, gang demi gang yang ia telusuri. Karena pada saat kegiatan ini berlangsung akan di muat dimedia, dan masyarakat menengah keatas bisa melihat Jokowi dari berita online maupun media. Jokowi termasuk dalam orator yang retorically sensitive. Jokowi bukan orang Jakarta, tapi bisa cepat beradaptasi dengan suasana Jakarta. Kalau forum debat memang beliau menggunakan bahasa – bahasa keseharian dan tidak berteori. Beliau menggunakan bahasa yang ringan dan mudah di fahami oleh sema masyarakat. Kampanye Jokowi sendiri dia jual program pastinya, bukan janji – janji, dan sangat menarik. Jokowi juga mengumbar prestasi dia sebagai wali Solo dan menjadi salah satu Gubernur terbaik. Diangkatnya dia menjadi cagub oleh PDIP dan Gerindra salah satu alasannya adalah ia dianggap sukses membangun kota Solo. Jokowi sangat inovatif, dia selalu membuat hal – hal yang berbeda untuk menarik simpati rakyat dengan isu perubahannya. Citra Jokowi dan Ahok sangat bagus, walau terlempar isu – isu mengenai mereka. Melihat dari pidato Jokowi, beliau masuk dalam kategori Impromptu, ( pidato yang bersifat mendadak ) yaitu pidato yang diucapkan secara spontan tanpa ada persiapan sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA Anwar Arifin, Komuniasi Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011) Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2007) Drs. Wahidin Saputra M.A, RETORIKA MONOLOGIKA: Kiat dan Tips Praktis Menjadi Mubaligh, (Bogor: Titian Nusa Press, 2010) Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), cet.ke-3. (Aristoteles, 1954:45) dalam Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet.ke-25. Menyoroti Komunikasi Politik PARPOL, DITERBITKAN ATAS KERJA SAMA : BALAI PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA BANDUNG (BP2KI) BADAN LITBANG SDM DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN PENERBIT SIMBIOSA REKATAMA MEDIA BANDUNG, 2009. Dan Nimmo, KOMUNIKASI POLITIK : Komunikator, Pesan, dan Media, (Bandung: PT. Renaja Rosdakarya), Cet.1 1989, Cet.2 1993. Gun Gun Heryanto, M. Si dan Ade Rina Farida, M.Si, KOMUNIKASI POLITIK, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), Cet. 1, 2011. Gun Gun Heryanto, M. Si, DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK, (Jakarta: PT. Lasswell Visitama, 2011). INTERNET: http://news.okezone.com/read/2012/07/12/505/662194/jokowi-vs-foke-ibarat-pertarungan-calon-pejuang-dan-calon-pecundang. Diakses pada hari Rabu, 18 Juli 2012, pukul 19.43 WIB. http://fokus.news.viva.co.id/news/read/335022-adu-siasat-jokowi-dan-foke-di-putaran-ii . Diakses pada hari Rabu, 18 Juli 2012, pukul 20.05 WIB. news.detik.com/read/2012/07/25/070128/1974020/10/putaran-kedua-pilgub-dki-adu-integritas-foke-vs-jokowi?9922022 Diakses pada hari Kamis 19 Juli 2012, pukul 11.12 WIB.   LAMPIRAN Opini Akademisi Mengenai Retorika Politik Fauzi Bowo (Foke) – Joko Widodo (Jokowi): 1. Ade Irfan Abdurrahman ( Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester 9) “Menurut saya retorika politik Foke itu elitis (entah itu ilmiah atau di bentuk oleh tim suksesnya). Dalam beberapa kesempatan foke selalu tampil elegan dan berbicara dengan teratur dan rapih yang selalu mengatasnamakan pekerjaan dia sebagai seorang Gubernur. Sedangkan Jokowi lebih merakyat dan menjadikan media massa yang menjadi alat kampanye terselubung, dia makan diwarteg agar terlihat dekat dengan rakyat, berdialog dengan warga sekitar dan tentunya menjadi perhatian media massa, gaya ngomongnya pun santai, terlihat ndeso dan merakyat banget.” 2. Arsikh Mawaddaw Warohmah (Mahasiswi Universitas Nasional Jurusan Hubungan Internasional Semester 9) “Menurut saya retorika Jokowi cenderung lebih sederhana ketimbang Foke yang condong lebih birokrat dan baku, Karena target Jokowi lebih kepada massa golongan menengah bawah ketimbang Foke targetnya ke elit. Kelas menengah bawah cenderung lebih menyukai tata bahasa yang santai dan sederhana, ketimbang yang bake dan terlalu birokrat. Strategi keduanya juga berbeda, dan kedua strategi politik mereka makin kuat dan realis.” 3. Gana Buana ( Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester 9) “Kalau Pakde Joko itu dilihat dari background etnisitas tidak diraguin lagi, jelas – jelas dia wong jowo. Orang Jawa itu memang dikenal lembut, santun dalam bertutur kata, Pakde Jokowi memenuhi kriteria tersebut, kemudian beliau bisa termasuk dalam orator yang retorically sensitive. Jokowi bukan orang Jakarta, tapi bisa cepat beradaptasi dengan suasana Jakarta. Kalau forum debat memang beliau kurang, berbicara agak lemah, tapi beliau lebih match berada di lapangan, terjun langsung dengan gayanya yang “down to earth” dan tokoh yang populis. Dibandingkan dengan Foke, Foke lebih unggul dalam retorika, terlebuh dalam forum. Tapi masyarakat memilih lebih melihat figur, siapa yang lebih mereka kenal. Pendekatan Jokowi ke warga dan gaya berbicara yang lugu mungkin yang lebih bisa diterima di tengah masyarakat Jakarta.” 4. Eni Wibowo (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester 9) “Saya kurang tau banget di Solo Jokowi seperti apa, tapi yang saya lihat dari kampanye Jokowi sendiri dia jual program pastinya, bukan janji – janji, menurut saya itu sangat menarik. Melihat retorika Jokowi dia low culture yang sesuai dengan target pemilih dia. Kalo Fauzi Bowo sih biasa aja, melainkan sok akademis, sok betawi, solusif dan tebar janji, gak ada bedanya dengan calon pada umumnya. Setiap Foke kampanye maupun acara debat politik, busana yang dia kenakan mencerminkan kalau dia adalah betawi banget atau cinta Jakarta, padahal kita selediki dengan kinerja dia selama ini tidak sebanding dengan apa yang pernah dia ucap.” 5. Luqman Karim (Alumni UNAS Jurusan Hukum dan Wartawan VIVAnews.com) Retorika Foke sama Jokowi itu beda banget. Kalau Foke yang saat ini sebagai incumbent bisa dibilang dalam retorikanya lebih banyak mengumbar apa yang sudah ia lakukan selama lima tahun belakangan. Makanya janji – janji kampanyenya banyak yang berisi sekolah gratis, pendidikan gratis, yang dianggapnya capaiannya selama lima tahun ia memimpin. Jokowi pun tidak jauh, ia juga mengumbar prestasi dia sebagai wali Solo dan menjadi salah satu Gubernur terbaik. Diangkatnya dia menjadi cagub oleh PDIP dan Gerindra salah satu alasannya adalah ia dianggap sukses membangun kota Solo. Jadi mereka ingin menularkan kesuksesan Solo di Jakarta. Marketing politiknya adalah langsung terjun kerakyat. Turun dari gang ke gang, keliling kampung, dan membuat pencitraan kalau antara dirinya dan rakyat tidak ada jarak. Ini bedanya dengan Foke yang Absen ketika waktu kampanye dan hanya mengandalkan pasangannya Nachrowi Ramli untuk turun ke lapangan, itupun tidak seperti Jokowi yang turun kampung to kampung.” 6. Haerul Faqih (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Ilmu Hukum) “Pendapat saya tentang Jokowi adalah dia selalu membuat hal – hal yang berbeda untuk menarik simpati rakyat dengan isu perubahannya, sedangkan Foke dengan gaya memberi janji dan mengumbar prestasinya selama 5 tahun.” 7. Aimatunnisa (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam) “Menurut saya, Jokowi itu rada mirip gaya komunikasinya dengan Obama, pertama Jokowi pengicau di twitter, ada yang bilang strategi Jokowi terinspirasi dengan Obama. Kedua, menggaet anak muda sebagai agent of change, walaupun jumlah follower Jokowi tak sebanding Obama. Ketiga, Jokowi menyerang rivalnya dengan cara pelan tapi pasti. Keempat, ketika Jokowi berpidato, punya gaya yang menarik seperti Obama, bahasanya sederhana, menggunakan bahasa keseharian, dan membuat masyarakat urban bisa lebih menerima keberadaannya dibandingkan dengan Cagub lain. Beda halnya dengan Foke, personality Foke itu kepribadian bentukan politikus kelas atas yang penuh retorika, bukan kepribadian dengan kacamata kelas kebawah, bisa dibilang Foke adalah simbol penguasa. Sedangkan Jokowi simbol rakyat jelata. Foke dengan menggunakan bahasa yang lugas, ceplas – ceplos, Foke seperti pemimpin Nazi Jerman, Hitler.” 8. Ahmad Fauzi (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam) “Jokowi merupakan sosok pemimpin yang sederhana yang diidamkan oleh rakyat. Citranya dimedia sudah terlalu baik ketika masih menjabat Walikota Solo. Jokowi adalah Tipe pemimpin yang memiliki jiwa retorically sensitive yang cepat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Foke pemimpin yang dikenal memang sudah jauh dari media yang membuat citranya kian memperburuk dikalangan masyarakat. Foke termasuk kategori Noble Selves, orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dan sulit untuk dikeritik.”   WAWANCARA I. TIMSES Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli K.H. Muhammad Rusydi Ali, lahir di Jakarta, 10 Oktober 1954. Riwayat pendidikan di Perguruan Rakyat, kemudian STN Tekhnik Perkapalan dan STM Budi Utomo. Beliau adalah seorang ulama, bukan dari partai politik maupun marketing politik. Beliau ini adalah Dewan Penasihat Majlis Taklim “Al – Fawuz” Jakarta Selatan dan salah satu sahabat karibnya Fauzi Bowo sekaligus menjadi Timsesnya. Tokoh Masyarakat Kampung Melayu ini sangat dekat dengan Fauzi Bowo ketika beliau menjabat sebagai sekretaris Daerah dan hingga kini. 1. Seperti apa sosok Fauzi Bowo dan Nahrowi dimata bapak? J: Fauzi Bowo bisa dikatakan sebagai salah seorang profile pemimpin yang sangat ideal, sangat agamis selalu berpandangan terhadap nilai – nilai agama. 2. Ketika Foke sedang pidato kampanye ke warga, isi pidato yang disampaikan merupakan sesuatu yang baru di fikirkan atau sudah dipersiapkan terlebih dahulu? J: Foke sangat cerdas, dia melakukan sesuatu berfikir terlebih dahulu lalu bergerak. 3. Apakah Foke menggunakan naskah dalam berpidato? J: Foke tidak pernah menggunakan naskah dalam pidatonya. 4. Nahrowi selalu di belakang bayangan Foke, jarang terlihat bersuara, apa tanggapan bapak? J: Nachrowi memiliki keterbatasan – keterbatasan, pada saat Foke cuti kerja untuk kampanye, waktu tersebut digunakan oleh Foke. Dan ketika Foke sedang bekerja, Nachrowilah yang bergerak. 5. Dalam beberapa acara debat di terlihat emosional ketika menanggapi kritikan lawannya, apa tanggapan bapak? J: Fauzi Bowo memiliki kepribadian yang baik, dia tidak emosional, hanya tegas dan berwibawa. 6. Strategi apa yang akan dibuat timses Foke untuk putaran ke – 2? J: Strategi dari Foke sendiri melanjutkan program yang telah disusun, sesuai dengan aqidah dan syari’at. 7. Jokowi dikenal merakyat dan tidak korupsi, sedangkan Foke dikenal sebagai pribadi yang keras dan religius. Bagaimana pandangan bapak terhadap image tersebut? J: Masyarakat kita bukan masyarakat yang bodoh, masyarakat kita merupakan masyarakat yang cerdas. Pastinya mereka tau siapakah pemimpin yang sebenar – benarnya. Dan masalah image itu semua tergantung masyarakat yang menilai. 8. Foke di cap masyarakat sudah gagal menjadi gubernur, sekarang bagaimana caranya untuk membangun citra Foke untuk meyakinkan masyarakat? J: Masyarakat yang mengatakan Foke gagal, adalah masyarakat yang menilai dari isu – isu dan tidak mengikuti perkembangan dengan baik. Apabila Foke telah dianggap gagal, maka tidak ada satupun yang memilihnya di putaran pertama kemarin. 9. Apa pandangan bapak melihat pilgub putaran I ? J: Pilgub pertama berjalan seperti waktunya dan masyarakat sendiri bisa memilih siapa yang benar – benar layak untuk menjadi pemimpin Jakarta. II. TIMSES Joko Widodo dan Basuki Hasan Nasbi 1. Seperti apa sosok Jokowi dimata bapak? 2. Apa visi misi Jokowi untuk Jakarta? 3. Strategi apa yang akan dibuat tim sukses Jokowi untuk putaran ke II ? 4. Melihat Jokowi di media, media meliput Jokowi sedang berjalan – jalan di pasar, makan di warteg, berinteraksi langsung dengan rakyat, apakah itu merupakan strategi marketing politik dari Jokowi? 5. Banyak isu – isu tentang Jokowi dan Ahok mengenai SARA, agama maupun etnis. Bagaimana anda menanggapi isu – isu tersebut dan apa yang akan dilakukan TIMSES agar citra Jokowi Ahok tidak menurun mengenai isu tersebut? 6. Jokowi terlihat sangat dekat dengan rakyat menengah kebawah, sangat ideal, tidak elitis. Apakah itu semua sudah direncanakan terlebih dahulu dan apakah sasaran utama Jokowi adalah masyarakat menengah ke bawah? 7. Jokowi bersilaturrahmi dengan kandidat Gubernur Jakarta Putaran I, apakah itu semata – mata bersilaturrahmi atau adanya negosiasi politik seperti meminta suara hak pilih kepada kandidat – kandidat sebelumnya? 8. Dalam berkampanye, apakah isi pidato Jokowi sudah direncanakan sebelumnya atau spontanitas dan tidak difikirkan sebelumnya?

AGENDA MEDIA DAN PERUBAHAN SOSIAL STUDI PERAN MEDIA DALAM KASUS WIKILEAKS DI THE AGE DAN SIDNEY MORNING HERALD

AGENDA MEDIA DAN PERUBAHAN SOSIAL STUDI PERAN MEDIA DALAM KASUS WIKILEAKS DI THE AGE DAN SIDNEY MORNING HERALD Kelompok 1 KPI 6C DIDIT HADI DODDY RAHMAT HIDAYAT (108051000199) GIN GIN GINANJAR (108051000093) HERDINA ROSIDI (108051000076) RIA MARIYANA ULFAH SITI AISYAH PRATIWI (108051000033) JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011   BAB I PENDAHULUAN Media merupakan sesuatu yang sangat penting untuk khalayak. Karena media merupakan sumber informasi penting, maka khalayak juga menganggap itu penting. Di zaman sekarang ini, media terus bersaing untuk mendapatkan rating yang kuat dari masyarakat. Disebabkan adanya kepentingan komersil media itu sendiri. Melihat beberapa pekan yang lalu dua media raksasa Australia The Age dan Sydney Morning Herald Merilis tentang kasus pembocoran situs wikileaks yang memberitakan isu kepemerintahan Indonesia serta menyeret beberapa tokoh penting Indonesia. Isi informasi tersebut adalah tentang masa kepemerintahan SBY. Situs yang sempat menghebohkan beberapa negara khususnya Indonesia, menjadi buah bibir yang kerap kali menjadi ajang pembicaraan masyarakat. Pemberitaan ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat, yakni, pada sebuah pembentukan opini public. Contohnya, yakni isu yang menyebutkan mengenai pemberitaan SBY terkait dengan dugaan korupsi serta adanya penyelewengan kekuasaan yang dimuat pada situs wikileaks. Ini merupakan sebuah persoalan yang cukup rumit, karena pada saat situs ini mulai menyebar, SBY juga sedang mengalami masalah kepemerintahannya. Jika ditelaah lebih kritis, mengapa wikileaks ini muncul secara tiba-tiba, padahal sebelum-sebelumnya pemberitaan ini sudah ada namun tidak jelas isu pembenaran dan keberadaannya. Masyarakat yang dulunya dianggap sebagai orang awam, kini perlahan mulai melihatkan keaktifannya, ini dikarenakan media berpengaruh pada khalayak sehingga secara tidak langsung khalayak ikut serta dalam pemberian respon isu pemberitaan. Khususnya pada masalah yang saat ini sedang terjadi, yakni, wikileaks. Hal yang perlu disinggung lagi yakni, motif dari pembocoran dokumen-dokumen negara pada situs wikileaks.   BAB II KASUS Melihat beberapa pekan lalu, media Australia Sydney Morning Herald dan The Age memberitakan tentang pembocoran situs Wikileaks yang didalam situsnya menyebutkan, Susilo Bambang Yudhoyono melakukan intervensi terhadap penyelidikan dugaan korupsi yang diduga dilakukan Taufik Kiemas. Ada juga informasi soal mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang disebut menggelontorkan uang miliaran rupiah demi memenangkan kursi Ketua Umum Golkar pada 2004. Selain itu, Wikileaks juga menyeret Ibu Negara Ani Yudhoyono menggunakan posisi politiknya untuk mengumpulkan kekayaan. Pada pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh situs yang dirintis Assange tersebut layakkah informasi tersebut dipercaya? Apakah informasi-informasi yang di terbitkan oleh kedua media raksasa Australia tersebut hanya omong kosong atau hanya ingin membuat krisis di Negara kita. Dan ketika isu tersebut beredar didunia maya maupun di TV, SBY bungkam dan hanya mengelak isu wikileaks tersebut. Dan mengapa Wikileaks menaruh server di Swedia? Seperti yang kita lihat kedua media cetak Australia tersebut sangat memojokkan SBY dan beberapa pejabat penting indonesia. Mereka menyebut SBY sebagai “ABUSED POWER”, namun apakah sedang buruknya hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia? Dan Bergulirnya isu bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Canberra untuk berunding dengan pelaksana Perdana Menteri (PM) Australia Wayne Swan. Melihat semua isu-isu yang dipaparkan diatas, apakah isu-isu tersebut dianggap penting oleh masyarakat? Dan apakah isu tersebut akan memberi perubahan bagi Indonesia? Malahan ketika berita tersbut sedang panas-panasnya disiarkan oleh media TV, seperti ada pengalihan isu dengan berita bom buku yang menyerang Ulil Abshor, mengapa kasus wikileaks yang menjadi sorotan masyarakat tidak diexpose kembali berita tersebut. Ini menjadi teka-teki bagi kami.   BAB III PEMBAHASAN  AGENDA SETTING Maxweel McCombs dan Donald Shaw adalah orang yang pertama kali mengemukakan istilah “agenda setting” (1972) dan mereka menyebut skandal Watergate merupakan contoh sempurna fungsi agenda setting media massa. Pada bulan juni 1972, lima pria yang tidak dikenal dengan motif yang belum jelas menyusup ke dalam kantor pusat Partai Demokrat (Democratic National Communitter) dan mengambil beberapa dokumen milik partai. Peristiwa di Amerika Serikat (AS) itu kemudian muncul sebagai berita kecil seukuran dua paragraph di surat kabar Washington post. Pada waktu itu, tidak ada yang peduli dengan berita kecil tersebut karena menggapnya sebagai peristiwa pencurian biasa saja, namun redaktur berita Ben Bradlee dan reporter Bob Woodward serta Carl Brenstein memberikan perhatian khusus kepada peristiwa tersebut . Presiden Richard Nixon ketika itu yang diminta komentarnya menyatakan berita itu sebagai peristiwa pencurian biasa yang dilakukan maling kelas teri dan karenanya tidak penting, namun beberapa bulan setelah berita itu muncul untuk pertama kali, banyak orang mulai menyadari bahwa peristiwa itu bukanlah berita. Pada bulan April 1973, jumlah orang yang tertarik mengikuti peristiwa itu mencapai 90%, dan ketika stasiun televisi melakukan siaran langsung dari gedung Senat yang tengah menggelar rapat dengan pendapat untuk menyelidiki peristiwa tersebut, dapat dikatakan setiap orang dewasa di Amerika mengetahui peristiwa yang terkenal dengan sebutan skandal Watergate itu. Enam bulan kemudian, Presiden Nixon mencoba membantah bahwa dirinya terlibat. “saya bukan seorang bajingan,” katanya. Namun, pada tahun 1974, untuk pertama kalinya dalam sejarah, presiden Amerika Serikat dipaksa mundur dari jabatannya karena masyarakat dan para politisi ketika itu sudah mengambil keputusan bahwa ia (Nixon) memang bajingan. Peristiwa kecil yang awalnya dianggap tidak penting itu kemudian berubah menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah politik Amerika. Bryant Thompson (2002) mengemukakan contoh lain fungsi agenda setting media massa dengan memberikan ilustrasi imajiner tentang suatu kota yang tengah melaksanakan pemilihan walikota, namun media lokal ternyata tidak memiliki isu penting yang dapat dijadikan bahan perdebatan untuk menilai kualitas para kandidat, media hanya membahas hal-hal sepele seputar kepribadian para calon. Salah satu televisi lokal kemudian mencoba mengangkat topik mengenai kemacetan lalu lintas di dekat stasiun TV tersebut yang disebabkan terbengkalianya proses perbaikan jalan. Pemilik stasiun TV meminta bagian pemberitaan untuk meliput kemacetan tersebut dan meminta tanggapan dari dua orang calon walikota yang tengah berkampanye. Ketika berita tersebut ditayangkan, beberapa stasiun TV dan media lainnya ikut mengangkat topik tersebut. Berita mengenai jalan rusak itu kemudian manjadi salah satu topik dalam kampanye pemilihan walikota, masing-masing calon mengusulkan gagasan terbaiknya mengenai cara mencari dana untuk memperbaiki jalan. Masalah jalan rusak itu pada akhirnya menjadi isu penting dalam kampanye walikota, dan hal itu semata-mata disebabkan karena pemilik stasiun menginginkan perbaikan jalan dapat diselesaikan secara cepat. Hubungan yang kuat antara berita yang disampaikan media sebagaimana dua contoh tersebut dengan isu-isu yang dinilai penting oleh publik merupakan salah satu efek media massa yang paling popular yang dinamakan dengan agenda setting. Denis McQuail (2000) mengatakan bahwa istilah “agenda setting” diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972,1993), dua peneliti dari Universitas North Carolina, yang menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut. penelitian tersebut merupakan tonggak awal perkembangan teori agenda setting. E.M. Griffin (2003) menyatakan bahwa McCombs dan Donald Shaw meminjam istilah ‘agenda setting’ dari sarjana ilmu politik Bernard Cohen (1963) melalui laporan penelitiannya mengenai fungsi khusus media massa. Dalam penelitiannya itu, Cohen mengemukakan pernyataan yang terkenal yang sering disebut sebagai mantra dari agenda setting. The mass media may not successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling in telling us what to think about ( media massa mungkin tidak berhasil mengatakan kepada kita apa yang harus difikirkan, tetapi mereka sangat berhasil untuk mengatakan kepada kita hal-hal apa saja yang harus kita fikirkan) Dearing dan Rogers (1996) mendefinisikan agenda setting sebagai persaingan terus menerus diantara berbagai isu penting untuk mendapatkan perhatian dari para pekerja media, publik dan penguasa) Jennings Bryant dan Susan Thompson (2002) menyatakan agenda setting adalah hubungan yang kuat antara berita yang disampaikan media dengan isu-isu yang dinilai penting oleh publik. Maxwell McCombs dan Donald Shaw menyatakan bahwa media massa memiliki kemampuan memindahkan hal-hal yang penting dari agenda berita mereka menjadi agenda publik. Kita menilai apa saja yang dinilai penting oleh media. Dalam hal ini, McCombs dan Donald Shaw tidak menyatakan bahwa media secara sengaja berupaya mempengaruhi publik, tetapi publik melihat kepada para professional yang bekerja pada media massa untuk meminta petunjuk kepada media ke mana publik harus memfokuskan perhatiannya.  Agenda media Menurut Everet Rogers dan James Dearing (1988), agenda setting merupakan proses linear yang terdiri atas tiga tahap, yang terdiri atas agenda media, agenda publik, dan agenda kebijakan. • Penetapan agenda media (media agenda), yaitu penentuan prioritas isu oleh media massa. • Media agenda dalam cara tertentu akan memengaruhi atau akan berinteraksi dengan apa yang menjadi pikiran publik maka interaksi tersebut akan mengahasilkan ‘agenda publik’ (public agenda). • Agenda publik akan berinteraksi sedemikian rupa dengan apa yang dinilai penting oleh pengambil kebijakan, yaitu pemerintah, dan interaksi tersebut akan menghasilkan agenda kebijakan (policy agenda). Agenda media akan memengaruhi agenda public dan pada gilirannya, agenda publok akan memengaruhi agenda kebijakan. Walaupun sejumlah studi menunujukan bahwa dapat memiliki kekuatan sangat besar dalam memengaruhi agenda public, namun tidaklah jelas apakah agenda public juga memengaruhi agenda media. Dalam hal ini, hubungan yang terjadi cenderung bersifat nonlinear atau saling memengaruhi (mutual) dibandingkan linear. Lebih jauh, peristiwa-peristiwa besar (seperti bencana) memberikan efek pada agenda public maupun agenda media. Penelitian yang dilakukan oleh Brosius dan Kepplinger (1990) terhadap program televise di Jerman menemukan bahwa media dapat memengaruhi agenda public dalam wilayah tertentu, namun sebaliknya kesadaran public juga memengaruhi media dalam wilayah lainnya. Intensitas dan jumlah berita yang disampaikan media akan menetukan seberapa jauh pengaruh televisi dalam menciptakan kesadaran public terhadap suatu isu. Namun, sebaliknya, kesadaran public juga memengaruhi isi media ketika perhatian public terhadap suatu isu tertentu meningkat terus menerus secara konsisten. Penelitian oleh Brosius dan Kepplinger menemukan adanya peran early recognizer, yaitu orang-orang yang terlebih dahulu mengetahui atau mengenali suatu isu yang penting bagi masyarakat dan menyebarluaskan isu tersebut kepada orang lain. Penelitian mengenai sumber-sumber berita yang menentukan agenda media telah meanrik perhatian banyak peneliti belakangan ini. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Wanta dan Foote (1994) yang meneliti pengaruh agenda presiden terhadap agenda media di Amerika. Kedua peneliti mempelajari berbagai berita utama (headlines) yang diberitakan media dalam periode sebulan sebelun dan sesudah pidato kenegaraan presiden (president’s states of the union address) yang diadakan setiap tahun. Diketahui ada 16 isu yang disampaikan presiden dalam pidatonya. Ke-16 isu tersebut kemudian kemudian dibandingan dengan isu yang disampaikan media sebelum dan sesudah pidato dilaksanakan, hasilnya menunjukan bahwa laporan agenda media sangat dipengaruhi oleh agenda presiden. McComb menyatakan current thinking of news selection focuses on the crucial role of public relations professionals working for government agencies, corporations and interest groups. Even prestigious newspaper with large investigative staff as the Washington Post and the New York Times get over half of what they print straight from press release and press conferences (pemikiran saat ini mengenai pemilihan berita memberikan perhatian pada peran penting para humas professional yang bekerja pada berbagai badan pemerintahan, korporasi dan kelompok-kelompok kepentingan. Bahkan surat kabar bergengsi yang memiliki staf invedtigasi besar seperti Washington Post dan New York Times mendapatkan dan mencetak lebih dari separuh berita mereka langsung dari siaran pers atau jumpa pers). Stephen Reese menyatakan bahwa agenda media merupakan hasil tekanan yang berasal dari luar dan dari dalam itu sendiri. Dengan kata lain, agenda media sebenarnya terbentuk berdasarkan kombinasi sejumlah factor yang memberikan tekanan kepada media misalnya seperti proses penentuan program internal, keputusan redaksi dan manajemen, serta berbagai pengaruh individu tertentu, pengaruh pejabat pemerintahan, pemasang iklan dan sponsor. Efek dalam agenda setting biasanya terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu, apakah isu bahwa SBY melakukan abuse of poweritu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak. Lalu mana yang akan dianggap paling penting menurut khalayak (salience). Kekuatan media dalam membentuk agenda public sebagian tergantung pada hubungan media bersangkutan dengan pusat kekuasaan. Jika media memiliki hubungan yang dekat dengan kelompok elit masyarakat, maka kelompok tersebut akan mempengaruhi agenda media dan pada gilirannya juga akan memengaruhi agenda public. Pada umumnya, para pendukung teori kritis percaya bahwa media dapat menjadi atau biasanya menjadi instrumen ideoloogi dominan masyarakat, dan bila hal ini terjadi, maka ideology dominan itu akan memengaruhi agenda public. Dalam hal ini, terdapat empat tipe hubungan kekeuasaan (power relation) antara media massa dengan sumber-sumber kekuasaan di luar media, khususnya pemerintah/penguasa.  Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, di mana semua tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial yang baru. Hal-hal penting dalam perubahan sosial menyangkut aspek-apek sebagai berikut: • Perubahan pola pikir masyarakat Perubahan pola pikir dan sikap masyarakat menyangkut persoalan sikap masyarakat terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya di sekitarnya yang berakibat terhadap pemetaraan pola-pola pikir baru yang dianut oleh masyarakat sebagai sebuah sikap yang modern. • Perubahan perilaku masyarakat Perubahan perilaku masyarakat menyangkut persoalan perubahan sistem-sistem sosial, di mana masyarakat meninggalkan sistem sosial lama dan menjalankan sistem sosial baru, seperti perubahan perilaku pengukuran kinerja suatu lembaga atau instansi. • Perubahan budaya materi Perubahan budaya materi menyangkut perubahan artefak budaya yang digunakan oleh masyarakat, seperti model pakaian, karya fotograpi, karya film, teknologi, dan sebagainya yang terus berubah dari waktu ke waktu menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Tahapan Transisi Sosiologis • Fase Primitif Pada fase primitif masyarakat memulai kehidupan mereka di mana manusia hidup secara terisolir dan berpindah-pindah disesuaikan dengan lingkungan alam dan sumber makanan yang tersedia. • Fase Agrokultural Ketika linkungan alam mulai tidak lagi mampu memberi dukungan terhadap manusia, termasuk juga karena populasi manusia mulai banyak, maka pilihan budayanya adalah bercocok tanam di suatu tempat dan memanen hasil pertanian itu serta berburu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. • Fase Tradisional Dalam fase tradisional, masyarakat hidup dengan menetap di suatu tempat yang dianggap strategis untuk penyediaan berbagai kebutuhan hidup masyarakat, seperti di pinggir sungai, di pantai, di lereng bukit, di dataran tinggi, di dataran rendah yang datar, dan sebagainya. • Fase Transisi Pada fase transisi penggunaan media informasi sudah hampir merata. Namun secara geografis, masyarakat transisi berada di pinggiran kota serta hidup meraka masih secara tradisional, termasuk pola pikir dan sistem sosial lama masih silih berganti digunakan dan mengalami penyesuaian dengan hal-hal yang baru dan inovatif. • Fase Modern Fase modern ditandai dengan peningkatan kualitas perubahan sosial yang lebih jelas meninggalkan fase transisi. Kehidupan masyarakat sudah kosmopolitan dengan kehidupan individual yang sangat menonjol, profesionalisme di segala bidang dan penghargaan terhadap profesi menjadi kunci hubungan-hubungan sosial diantara elemen masyarakat. • Fase Postmodern Fase postmodern adalah masyarakat modern dengan kelebihan-kelebihan tertentu di mana kelebihan-kelebihan itu menciptakan pola sikap dan perilaku serta pandangan-pandangan mereka terhadap diri dan lingkungan sosial yang berada dengan masyarakat modern atau masyarakat sebelum itu. Sifat-sifat yang menonjol dari masyarakat postmodern adalah: Memiliki pola hidup nomaden, artinya kehidupan mereka yang terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain menyebabkan orang sulit menemukan mereka dan tempat tinggal menetapnya. Hal ini disebabkan karena kesibukan mereka dengan berbagai usaha dan bisnis, akhirnya mereka bisa saja memiliki rumah di mana-mana di dunia ini. Secara sosiologis mereka berada pada titik nadir, antara struktur dan agen, yaitu pada kondisi tertentu orang postmodern patuh pada strukturnya, namun pada sisi lain ia mengekspresikan dirinya sebagai agen yang mereproduksi struktur. Manusia postmodern lebih suka menghargai privasi, dan kegemaran mereka melebihi apa yang mereka anggap berharga dalam hidup mereka, dengan demikian kegemaran spesifik mereka menjadi aneh-aneh dan unik. Kehidupan pribadi yang bebas menyebabkan orang-orang postmodern menjadi sangat sekuler, memiliki pemahaman nilai-nilai sosial yang subjektif dan liberal sehingga cenderung terlihat sangat mobile pada seluruh komunitas masyarakat dan agama serta berbagai pandangan politik sekalipun. Pemahaman orang postmodern yang bebas pula menyebabkan mereka cenderung melakukan gerakan back to nature, back to village, back to traditional atau bahkan back to religi, namun karena pemahaman mereka yang luas tentang persoalan kehidupan, maka “gerakan kembali” itu memiliki perspektif dengan orang lain yang selama ini sudah dan sedang ada di wilayah tersebut.  SYDNEY MORNING HERALD The Sydney Morning Herald (SMH) adalah sebuah surat kabar broadsheet harian yang diterbitkan oleh Fairfax Media di Sydney, Australia. Edisi Minggu, The Sun-Herald, diterbitkan dalam format tabloid. Didirikan tahun 1831 dengan nama Sydney Herald, SMH adalah suratkabar yang terus beroperasi tertua di Australia. SMH telah menjadi sebuah suratkabar konservatif sebagaimana yang dikatakan bahwa SMH tidak mendukung Partai Buruh Australia pada pemilihan apapun hingga 1984 atau di pemilihan negara bagian hingga 2003. Perusahaan induknya, Fairfax, dipimpin oleh bekas anggota partai Liberal, Ron Walker. Suratkabar ini dalam beberapa tahun terakhir berusaha untuk melakukan kampanye politik, termasuk "Campaign for Sydney" (perencanaan dan transportasi) dan "Earth Hour" (lingkungan).  THE AGE The Age adalah sebuah surat kabar harian yang diterbitkan di Melbourne, Australia dan merupakan salah satu dari dua koran lokal besar selain Herald Sun. Diterbitkan sejak tahun 1854, The Age berbentuk broadsheet dan umumnya dipandang sebagai surat kabar yang memuat berita-berita yang lebih serius dibandingkan dengan Sun. Didalam harian Australia, The Age, pada Jumat (11/3/2011) memuat berita utama tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks. Kawat-kawat diplomatik tersebut, yang diberikan WikiLeaks khusus untuk The Age, mengatakan, Yudhoyono secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan setidaknya seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri. Laporan-laporan diplomatik AS tersebut mengatakan, segera setelah menjadi presiden pada tahun 2004, Yudhoyono mengintervensi kasus Taufiq Kiemas, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Yudhoyono dilaporkan telah meminta Hendarman Supandji, waktu itu Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, menghentikan upaya penuntutan terhadap Taufiq Kiemas untuk apa yang para diplomat AS gambarkan sebagai "korupsi selama masa jabatan istrinya". Melihat di “detikcom dari situs theage.com.au,” The Age membertitakan bahwa Presiden SBY menyesalkan pemberitaan tentang dirinya tersebut. Ditulis juga, SBY menilai bahwa koran Australia tersebut telah melanggar kode etik jurnalisme universal, dengan memuat berita tanpa meminta tanggapannya terlebih dulu. "The President is absolutely not happy with the false coverage, full of lies, run in The Sydney Morning Herald and The Age. The content is full of sensation and disrespect, full of nonsense," ujar Daniel seperti dikutip The Age. Selain memuat bantahan pihak Istana, The Age juga menuliskan penyesalan pihak Kedubes AS di Indonesia terhadap pemberitaan ini. Hal ini, menurut The Age, meupakan tanggapan dari sikap Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa yang menyampaikan protes keras kepada Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel.  SEPUTAR WIKILEAKS Beberapa pekan yang lalu negara kita sempat dihebohkan dengan isu pemberitaan wikileaks. Wikileaks merupakan organisasi internasional yang membobol dokumen-dokumen rahasia diplomatik negara-negara yang bermarkasnya di Swedia. Situs tersebut diluncurkan tahun 2006. Direktur Wikileaks adalah seorang jurnalis dan hacktivis (aktifis internet) yang berasal dari Australia, Julian Assange. Artikel koran dan majalah The New Yorker mendeskripsikan Julian Assange, seorang jurnalis dan aktivis internet Australia, sebagai direktur Wikileaks. Situs Wikileaks menggunakan mesin MediaWiki. WikiLeaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award dari majalah Economist untuk tahun 2008. Pada bulan Juni 2009, WikiLeaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun 2008 berjudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances, sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh polisi di Kenya. Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan WikiLeaks pada peringkat pertama dalam "situs yang benar-benar bisa mengubah berita". Pada Juli 2010, situs ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan. Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis kabel diplomatik Amerika Serikat Kali ini, wikileaks.org mempublikasikan dokumen-dokumen kawat diplomatik yang bersumber dari 274 kedutaan besar Amerika Serikat di berbagai belahan dunia, termasuk dari Departemen Luar Negeri AS. Jumlah dokumennya ada 251,287 buah dan, hingga hari ini, yang dirilis belum sampai 300 dokumen. WikiLeaks sejak didirikan pada tahun 2006 memang memproklamasikan diri sebagai gerakan transparansi radikal. Pada November 2010, WikiLeaks merilis 250 kawat diplomatik rahasia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di sejumlah negara. Singkatnya gerakan mereka kerap dilabeli dengan sebutan hacktivism. Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. Sementara The Agenda Syney Morning Herald yang sama-sama berada di dalam naungan grup Fairfax Media merupakan media massa komersial yang tentu tak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik dari komodifikasi isu terkait SBY ini. Asas kerja jurnalisme The Agenda Sydney Morning Herald tentunya adalah asas jurnalisme. Tentu,menjadi kewajiban yang melekat bagi kedua surat kabar Australia ini untuk memverifikasi data yang bersumber dari WikiLeaks dengan memberi peliputan yang cover bothside agar tak terjebak pada pembunuhan karakter, dramatisasi fakta maupun propaganda. Situs Wikileks ini menerbitkan dokumen-dokumen penting negara-negara dan merahasiakan sumbernya. Beberapa berita yang dimuat oleh situs wikileaks antara lain Belanda yang menyimpan nuklir titipan Amerika Serikat dan Raja Arab Saudi meminta Amerika Serikat untuk menyerang Iran, prediksi Lee Kwan Yew negarawan senior Singapura tentang Korea dan masa depannya, dan dokumen tentang seorang direktur di departemen pertahanan Amerika Serikat yang bertemu dengan asisten menteri luar negeri Amerika Serikat yang membicarakan tentang situasi pascakunjungan Hillary Clinton ke Jakarta 2009 lalu. Wikileaks membocorkan sedikit demi sedikit isi dokumen rahasia milik negara yang menyeretkan beberapa tokoh penting di Negara-negara. Sejumlah data rahasia negara-negara hasil dokumentasi Amerika Serikat telah tersebar di dunia maya, antara lain dokumen penting rahasia Amerika tentang Indonesia, dokumen sangat rahasia milik Amerika Serikat yang berkaitan dengan Prancis, Spanyol, data dan informasi negara Turki, dokumen rahasia Irak, dan masih banyak lagi. Adapun isu yang tersebar dokumen rahasia negara Indonesia antara lain tentang masa kepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berisi tentang penyelewengan kekuasaan maupun korupsi. Tidak hanya itu, hasil pemilu 2004 Indonesia juga dimuat di situs Wikileaks. BAB IV ANALISIS KASUS Informasi bocoran WikiLeaks hendaknya ditanggapi dengan bijaksana. Dan jangan cepat terpengaruh oleh pemberitaan tersebut. Khalayak seharusnya memiliki pemahaman bahwa intelijen di semua negara membangun informasi berikut analisis-analisisnya. Pemberitaan wikileaks dianggap benar apabila mereka memiliki data dan bukti yang kuat, data-data itu hanyalah data analisis yang belum memiliki legitimasi secara hukum. Tapi dijelaskan apabila media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting, seperti yang digambarkan Maxwell McCombs dan Donald L Shaw sebagai agenda setting. Markas besar Wikileaks adalah di Swedia. Mengapa demikian? Karena Swedia adalah negara dengan perlindungan hukum terbaik terhadap anonimitas dan kerahasiaan informasi di internet. Menurut kami, untuk menyikapi pemberitaan bocoran data WikiLeaks, Presiden SBY maupun pihak Istana jangan hanya mengelak dan mempertanyakan keakuratan data atas pembocoran situs Wikileaks tersebut. Karena menyangkal bukan jalan yang baik untuk suatu jawaban. Penyangkalan tanpa paparan yang jelas dari apa yang diisukan justru hanya akan mengundang kecurigaan dari khalayak dan membuat khalayak menjadi berasumsi diri bahwa isu tersebut adalah akurat. Akan tetapi alangkah baiknya pemerintah membuktikan kalau data Wikileaks tidak benar. Seharusnya SBY dan beberapa tokoh penting yang disebutkan oleh wikileaks meminta sesegera mungkin hak jawab atas pemberitaan yang dimuat harian The Age dan Sydney Morning Herald tersebut. Tapi bukan sekadar hak jawab saja, melainkan memberikan fakta dan data terkait dengan substansi sesuai dengan isu tersebut. Kemudian, selain memberi nota protes kepada Amerika Serikat melalui Duta Besar Amerika Serikat dengan Indonesia, Scot Marciel, pihak SBY juga melakukan klarifikasi sejelas-jelasnya. Seperti yang kita lihat kedua media cetak Australia tersebut sangat memojokkan SBY dan beberapa pejabat penting indonesia. Mereka menyebut SBY sebagai “ABUSED POWER”, menurut kami, hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia kurang baik. Australia sangat agresif dengan Indonesia. Tetapi secara garis besar Australia sangat membutuhkan Indonesia, karena negara Australia memerlukan perekonomian dari negara Indonesia. Agenda media merupakan hasil tekanan yang berasal dari luar dan dari dalam itu sendiri. Dengan kata lain, agenda media sebenarnya terbentuk berdasarkan kombinasi sejumlah factor yang memberikan tekanan kepada media. Dalam hal lain, suatu isu yang diangkat media dan dianggap itu penting, maka khalayak menganggap berita itu penting. Media memiliki andil yang cukup kuat dalam mempengaruhi khalayak, karena apa yang disuguhkan oleh media, itulah yang dikonsumsi oleh masyarakat. Penyuguhan berita yang disiarkan dapat merubah pola pemikiran masyarakat, atau secara umumnya ialah, perubahan sosial terjadi akibat dari kegiatan aktif media, yang mana masyarakat selalu disuguhi berita-berita penting khususnya pemberitaan politik. Dan menurut kami khalayak mengaggap berita tentang pembocoran wikileaks itu penting, tetapi pada saat berita itu meruncing, mengapa berita tersebut tidak diekspose kembali oleh media, dan menurut kami ada pengalihan isu yang sengaja untuk menutupi isu wikileaks yang menyeret beberapa nama tokoh penting Indonesia. Seperti berita bom buku yang ditujukan kepada “Ulil Abshor” yang sempat heboh dan membuat masyarakat menjadi ketakutan. Kita cermati bahwa Ulil Abshor ini adalah salah satu Anggota Fraksi Partai Demokrat, bisa saja ini adalah salah satu strategi SBY untuk menutupi isu Wikileaks tersebut dari hadapan publik. Melihat dari jawaban-jawaban serta tudingan yang SBY katakan bahwa Wikileaks itu hanya omong kosong belaka, dan dia mengelak dengan alasan yang menurut kami kurang relevan, sepertinya ada kejanggalan dalam jawaban SBY, bisa saja pemberitaan wikileks itu memang benar. Harusnya apabila SBY merasa isu tersebut tidak benar dan mencoreng nama baiknya, ambillah sikap yang menunjukkan fakta-fakta serta data yang real bahwa berita itu memang tidak benar. Wikileaks memilki daya tarik tersendiri dalam isu pemberitaannya, karena wikileaks dinilai memiliki news value dengan pertimbangan rating berita. Dari mulai kasus contoh SBY, dokumen negara, bahkan dokumen-dokumen yang bersifat rahasia. Selain menjadi berita yang menghebohkan, wikileaks mampu menyedot perhatian masyarakat yang pada akhirnya terjadi perubahan sosial, yakni, perubahan cara berfikir, menganalisis berita, dan lebih kritis dalam menerima atau mendapat isu pemberitaan dari media. Masyarakat yang dulunya dianggap sebagai orang awam, kini perlahan mulai melihatkan keaktifannya, ini dikarenakan media berpengaruh pada khalayak sehingga secara tidak langsung khalayak ikut serta dalam pemberian respon isu pemberitaan. Khususnya pada masalah yang saat ini sedang terjadi, yakni, wikileaks. Hal yang perlu disinggung lagi yakni, motif dari pembocoran dokumen-dokumen negara pada situs wikileaks.   BAB V PENUTUP Jadi, yang paling penting di sini adalah, kedudukan media memiliki andil yang cukup kuat dalam mempengaruhi khalayak, karena apa yang disuguhkan oleh media, itulah yang dikonsumsi oleh masyarakat. Penyuguhan berita yang disiarkan dapat merubah pola pemikiran masyarakat, atau secara umumnya ialah, perubahan sosial terjadi akibat dari kegiatan aktif media, yang mana masyarakat selalu disuguhi berita-berita penting khususnya pemberitaan politik. Wikileaks memilki daya tarik tersendiri dalam isu pemberitaannya, karena wikileaks dinilai memiliki news value dengan pertimbangan rating berita. Dari mulai kasus contoh SBY, dokumen negara, bahkan dokumen-dokumen yang bersifat rahasia. Selain menjadi berita yang menghebohkan, wikileaks mampu menyedot perhatian masyarakat yang pada akhirnya terjadi perubahan sosial, yakni, perubahan cara berfikir, menganalisis berita, dan lebih kritis dalam menerima atau mendapat isu pemberitaan dari media. Kekuatan media dalam membentuk agenda public sebagian tergantung pada hubungan media bersangkutan dengan pusat kekuasaan. Jika media memiliki hubungan yang dekat dengan kelompok elit masyarakat, maka kelompok tersebut akan mempengaruhi agenda media dan pada gilirannya juga akan memengaruhi agenda public. Pada umumnya, para pendukung teori kritis percaya bahwa media dapat menjadi atau biasanya menjadi instrumen ideoloogi dominan masyarakat, dan bila hal ini terjadi, maka ideology dominan itu akan memengaruhi agenda public. Dalam hal ini, terdapat empat tipe hubungan kekeuasaan (power relation) antara media massa dengan sumber-sumber kekuasaan di luar media, khususnya pemerintah/penguasa. DAFTAR PUSTAKA Morissan, Corry Andi, Hamid Farid, TEORI KOMUNIKASI MASSA, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Maryani Eni, MEDIA DAN PERUBAHAN SOSIAL, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011. Bungin Burhan, SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Soekanto Soerjono, SOSIOLOGI SUATU PENGANTAR, Jakarta: Raja GRAFINDO Persada, 1990. Majalah GATRA, “Mafia VS Satgas Anti-Mafia”, tentang PENGAKUAN INTEL AMERIKA DI AFGHANISTAN, No.39 Tahun XVI Edisi 5-11 Agustus 2010. intelijen.http://id.news.yahoo.com/lptn/20101201/twl-ini-rincian-bocoran-wikileaks-deaf2f6.html. www.wikileaks.ch http://17-08-1945.blogspot.com/2011/03/koran-digital-gun-gun-heryanto.html   LAMPIRAN  RISET: 1. ABRAHAM ZAKY Semester 6 B Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi “Pada mulanya adalah ihwal pemberitaan penyalah gunaan wewenang oleh SBY di The Age dan Sydney Morning Herald, yang mana dua harian yang terbit di Australia itu mengambil sumber berita dari Wikileaks. Saya tidak bisa membaca secara terang isu ini. Apakah ini pengalihan isu atau hanya sedang buruknya hubungan Indonesia dan Australia. Entah ada agenda apa dibalik pemberitaan itu? Sejauh pengamatan saya, Wikileaks adalah situs berbahaya yang akan membuka rahasia-rahasia negara yang kontra demokrasi, rahasia itu berasal dari (klaim wikileaks) dari sumber terpercaya. 2. ENI WIBOWO Semester 6 A Jurusan Komuniksai dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi “Saya berpendapat bahwa isu pembocoran situs Wikileaks sangat wajar, karena mereka bebas mengeluarkan berita itu. Sebenarnya yang perlu ditindak lanjuti dan diperhatikan bukan hanya beritanya saja, tapi agenda apa yang ada dibalik pemberitaan tentang Indonesia yang mereka keluarkan. Apa karna ingin membuat suatu krisis di Indonesia.